Menjadi Ibu dengan HIV: Perjuangan Dyah dalam Merencanakan Kehamilan dan Melahirkan Bayi yang Sehat

Dyah punya satu keinginan. Jika suatu hari nanti dia kembali berkesempatan untuk memiliki anak, dia ingin sebisa mungkin memberinya ASI. Namun, setelah apa yang terjadi dengan dirinya, apakah keinginan itu mungkin terwujud? Apakah dia bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat? Apakah Dyah akan bisa memberikan ASI pada anaknya tanpa menyebabkan penularan? 

Pentingnya Informasi untuk Memantapkan Diri

Dyah pertama kali mengetahui statusnya ketika ia telah memiliki seorang anak, usianya tiga setengah tahun waktu itu. Suaminya tengah sakit dan menjalani opname. Dari hasil tes, diketahui bahwa suami Dyah positif HIV dan sudah dalam fase AIDS. Mengetahui hal tersebut, Dyah pun menjalani tes dan hasilnya reaktif. Dokter kemudian menyarankan agar anak Dyah juga segera menjalani tes. Dalam dua kali tes VCT, dua-duanya non reaktif. 

Setelah suami pertamanya meninggal, Dyah menikah untuk yang kedua kali. Namun, kekhawatiran-kekhawatiran dalam diri Dyah yang berkaitan dengan statusnya sebagai perempuan dengan HIV membuatnya ragu untuk langsung memiliki anak. Akhirnya, Dyah dan suami sepakat untuk menunda kehamilan. 

Selama enam bulan pertama pernikahan, mereka memilih mengenakan kondom sebagai alat kontrasepsi. Hitung-hitung sebagai bulan madu, katanya. Sejalan dengan itu, Dyah bersama suaminya juga melakukan persiapan-persiapan untuk memiliki momongan, terutama persiapan mental dan pengetahuan.

Informasi yang benar adalah cara kita untuk berada di jalan yang terang. Itulah hal yang Dyah percaya. Berbekal keyakinan itu, Dyah mulai mengumpulkan banyak informasi dengan membaca jurnal-jurnal yang berkaitan dengan pemberian ASI dari ibu yang positif HIV. 

Selain itu, Dyah juga mengikuti program pelatihan PPIA (Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak) yang diadakan oleh IPPI di Yogyakarta. Di sana, Dyah bertemu dengan narasumber-narasumber hebat yang memberinya banyak informasi penting. Pengetahuan baru yang Dyah dapatkan di sana membantunya memantapkan hati untuk merencanakan kehamilan. Keyakinan itu semakin kukuh setelah bertemu dan mendengar cerita langsung dari Hartati yang sudah menjalani program PPIA dan dianugerahi anak yang sehat. 

Selain mengumpulkan informasi, Dyah juga melakukan serangkaian tes laboratorium, memastikan kondisinya sehat dan memungkinkannya untuk hamil dan melahirkan. Kabar baik, hasil tes lab Dyah bagus. Viral load-nya tidak terdeteksi, dengan jumlah CD4 580. Tidak ada kondisi yang menghalanginya untuk memulai program kehamilan. 

Setelah merasa cukup persiapannya cukup, Dyah dan suaminya mulai menghitung masa subur dan berhenti menggunakan alat kontrasepsi. Pada bulan ketiga, Dyah positif berbadan dua. 

Selama masa kehamilan, Dyah terus berkontak dengan Hartati dan belajar dari pengalamannya. Seperti yang disarankan Hartati, Dyah menemui dokter konselor laktasi untuk berkonsultasi tentang kondisinya dan keinginannya untuk menyusui bayinya nanti. Dyah juga rutin mengikuti maternity class hingga yoga untuk ibu hamil. 

Berkat usaha, persiapan, dan kedisiplinan Dyah dalam menjalani program PPIA, anaknya terlahir sehat dengan persalinan pervaginam, sesuai dengan harapannya. 

Lika-Liku Layanan Kesehatan untuk Ibu dengan HIV

Pada usia kandungan enam bulan, Dyah mengalami demam karena kelelahan. Dyah tahu bahwa ia boleh minum paracetamol untuk meredakan demamnya, tetapi dia ingin berhati-hati. Maka Dyah memilih memeriksakan diri ke IGD di rumah sakit terdekat dari rumahnya. Di sana, Dyah malah mengalami stigma. 

Dyah memang bercerita tentang statusnya kepada dokter karena perlu menginformasikan obat-obat yang dia konsumsi. Namun, dokter malah langsung menduga bahwa Dyah tertular HIV sebelum menikah karena melakukan seks bebas. Hal itu membuat Dyah tersadar bahwa masih ada stigma terhadap perempuan dengan HIV. Masyarakat belum memiliki pemahaman bahwa ibu rumah tangga juga dapat tertular HIV tanpa terlibat dalam perilaku seks berisiko, seperti Dyah yang tertular dari mendiang suaminya. 

Untungnya, Dyah tidak mengalami kesulitan ketika mencari tempat untuk melahirkan secara pervaginam karena melahirkan di Rumah Sakit Pusat Dr. Sardjito. Selama hasil tes viral load menunjukkan hasil undetectable, tidak ada masalah. 

Namun, ketika Dyah menyampaikan pilihannya untuk menyusui, Dyah sempat ditentang. Setelah anaknya lahir, dokter yang menanganinya berkata bahwa bayinya akan diberi susu formula. Padahal Dyah tahu bahwa selama tidak melakukan mixed feeding, seharusnya Dyah dapat menyusui langsung anaknya. Awalnya dokter terus mencoba meyakinkan Dyah untuk menggunakan susu formula, tapi karena Dyah tetap bersikeras akhirnya dia diperbolehkan. 

Selain itu, bayinya juga tidak ditempatkan di ruangan yang sama dengan bayi-bayi lainnya. Bayi Dyah ditempatkan di ruangan tempat perawatan anak-anak dengan penyakit berat dan berisiko. Jadi untuk menyusui pun, Dyah yang harus datang ke ruangan tersebut. Dyah juga tidak diperbolehkan membawa ari-ari bayinya karena langsung dimusnahkan. 

Menurut Dyah, pelayanan yang dia dapatkan di rumah sakit tersebut belum terpadu. Sebagai contoh, dokter kandungan dan dokter anak yang menanganinya seperti berjalan sendiri-sendiri dengan pemahaman masing-masing. Belum lagi dengan dokter-dokter residen yang berganti-ganti orang. Karena itulah Dyah tidak mendapatkan pelayanan yang seragam. Ada dokter yang sangat menerima dan memahami kondisi Dyah sebagai perempuan positif HIV, tetapi ada juga yang belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan dan hak-haknya. 

Ketika Dyah bertemu dengan dokter anak yang memang mengampu orang dengan HIV, Dyah merasa sangat diterima. Dokter tersebut bisa memahami kebutuhan dan keinginan para ibu dengan HIV yang ingin memberikan ASI. Ketika Dyah bertemu dengan dokter residen, mereka terasa sangat hati-hati hingga terasa tidak mengakomodasi. Jika pelayanan dan petugas kesehatan yang ada saling berkaitan supaya pelayanannya lebih komprehensif. 

Antara Persiapan, Dukungan, dan Layanan

Dyah bercerita bahwa dia merasa bersyukur karena merasa tak ada bedanya dengan perempuan lain. Dia dapat mengandung dan melahirkan dan bisa memiliki pilihan. Pilihan untuk melahirkan dengan cara yang ia inginkan dan pilihan untuk memberi ASI eksklusif pada anaknya. Statusnya sebagai perempuan positif HIV tidak merenggut pilihan-pilihan itu darinya. 

Semua ini dapat terwujud berkat persiapan yang matang, dukungan dari suami, juga layanan PPIA yang membantu Dyah menjalani proses kehamilan dan melahirkan dengan aman. 

Sejak awal, suami Dyah memberikan kebebasan apakah Dyah mau hamil kembali atau tidak. Semua keputusan didiskusikan bersama, dari sebelum hamil hingga melahirkan dan menyusui. Selama masa kehamilan pun, sang suami terus siaga menjaga Dyah, bahkan ikut kelas yoga bersama. Sampai sekarang pun, tanggung jawab pengasuhan anak dijalankan bersama tidak dibebankan kepada Dyah saja hanya karena dia adalah perempuan. 

Pelatihan PPIA yang diadakan oleh IPPI merupakan bagian penting dari sosialisasi program yang telah tersedia untuk membantu para perempuan positif untuk memiliki anak dengan aman dan sehat. Informasi ini penting untuk mempersiapkan para calon ibu dan menghilangkan ketakutan-ketakutan mereka tentang proses memiliki anak sebagai perempuan dengan HIV. 

Dyah berpesan kepada sesama perempuan untuk mau mencari informasi sebanyak-banyaknya. Karena informasi yang benar bisa membawa kita ke jalan yang terang. Termasuk dengan melakukan tes VCT dan ANC (antenatal care) terpadu. Jangan takut untuk mengetahui status HIV. Dengan mengetahui status kita sejak awal, kita bisa melakukan banyak hal untuk memastikan bayi yang dilahirkan sehat dengan risiko penularan dari ibu ke anak sekecil mungkin. 

Dengan pengetahuan yang cukup, layanan yang memadai, dan dukungan dari orang terdekat, perempuan dengan HIV bisa mengalami proses hamil yang aman dan melahirkan anak yang sehat. Dyah adalah salah satu buktinya.

 

Sumber: Podcast Perempuan Berdaya 47. “Positive & Pregnant” | Dyah: Saya Tidak Tega Apabila Anak Saya Berikutnya Tidak Diberikan ASI Seperti Kakaknya

Teks: Yoga Palwaguna

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia