Hages, Berdamai dengan Kondisi Kesehatan Mental Part 2

Sejujurnya aku nggak mau punya anak. Aku trauma dari anak yang pertama. Tapi suamiku meyakinkan diri kalau aku bisa dan aku dibawa ke dokter yang tepat di Fatmawati, dokter Endang. Setelah konsultasi akhirnya ya udah aku hamil. Deg-degan pasti, ketakutan yang luar biasa pernah aku alami, tapi aku yakin banget sama suami dan dokter yang support aku. Dan aku minta lahirnya disesar dan nggak mau menyusui karena aku trauma.

Di sanalah kemudian aku masuk fase mengalami gangguan kesehatan mental. Jadi awalnya itu sebenarnya aku udah nggak mau punya anak lagi. Tapi karena tuntutan suami yang pengen punya anak. Anak satu udah dilahirin. Ternyata dia nuntut anak lagi, dan dia minta anak laki-laki. Karena dia dari pernikahannya yang pertama dia dapat anak perempuan, terus dari aku perempuan lagi, jadi dia penasaran pengen punya anak laki-laki. Dan aku bilang “nggak cukupkah sama Danzle?”, dan itu penuh drama. Akhirnya oke lepas kondom, dan aku langsung hamil. Disitu mungkin karena usia juga yang mana aku udah mau hampir 40 tahun, jadi aku merasa kayak capek banget karena harus ngurus anak bayi lagi.

Jadi dari hamil aja aku udah banyak mengeluh, dan aku merasa i’m not happy dengan kehamilanku. Nggak tahu harus senang atau nggak saat tahu hamil. Tapi satu sisi aku berusaha positive thinking bahwa Tuhan masih percaya untuk menitipkan amanah cuma akunya aja yang ogah-ogahan. Tetapi semua itu berubah ketika anak ketiga lahir. Saat pertama kali lihat mukanya aku nangis sejadi-jadinya nggak tahu kenapa kayaknya aku sayang banget sama anak ini, nggak mau kehilangan dan lebay banget saat itu. Aku merasa ada yang salah di dalam diriku, kenapa saat hamil itu aku selalu merasa sebal dan lain-lain tapi ketika lihat mukanya aduh aku langsung menyesalnya setengah mati dan berjanji akan merawat dia sepenuh hati. Dengan kasih sayang yang berlebihan itu, ternyata anakku harus dirawat selama 18 hari di rumah sakit dan aku pulang sendirian. Jadi aku cuma tiga hari dia 18 hari.

Dia dirawat Karena dia punya trombosit yang rendah. Dan ketakutanku berlebihan sehingga yang bisa aku lakukan adalah menangis setiap malam di balkon. Jadi selama 18 hari dia di rumah sakit, 18 hari juga aku nangis. Begitu dia pulang aku happy banget, dan saat itu aku benar-benar berlebihan banget karena dia lagi tidur aja aku lihatin. Ini dia napas apa nggak, mau nyusu apa nggak, klo nggak aku yang nangis, dan klo dia nangis aku juga sedih banget ngerasa aduh ini apa ada yang salah, jadi over banget, dan panic attack-nya itu parah banget. Setelah tiga bulan melahirkan semakin parah, dan aku pikir itu cuma syndrom baby blues kali ya atau kekhawatiiran ibu baru lahiran, akhirnya aku ngerasa ini kayaknya ada yang salah ini sama aku. Kok makin dia besar makin lebay ya? Dan banyak bisikan-bisikan aneh, dan itu bisa sampai berhari-hari cuma di kamar nggak mandi, cuma berduaan aja sama bayiku, aku cuma main aja sama dia sampai kakak-kakaknya iri dan bilang “mami nih kayaknya sama Elang beda banget deh terlalu sayang nggak sayang lagi ama kita-kita..” aku bodo amat!

Jadi perhatian terpusat sama Elang dan jadi cenderung cuek sama anak-anak yang lebih besar. Aku jadi cenderung kasar jadinya sama kakak-kakaknya. Aku kayak terlalu melindungi adiknya banget. Pas udah tiga bulan dia dicek alhamdulillah hasilnya negatif, tapi nggak tahu kenapa itu tidak selesai sampai disana, malah semakin parah dan aku merasa kayaknya ada something wrong di diriku karena setiap malam aku kayak merasa sedih yang berlebihan dan merasa mau teriak. Sampai akirnya aku ambil bantal, tutupin muka dan teriak sekencang-kencangnya. Suamiku yang di ruang kerja langsung lari ke kamar takut kenapa-kenapa dan aku nggak tahu kenapa karena memang ingin nangis dan teriak aja. Aku coba konsultasi dengan teman-teman, dan salah satu teman bilang aku postpartum karena dia ngerasain apa yang aku rasain. Dia cerita dan itu sama persis seperti apa yang aku rasakan.

Nah ketika jadwalnya aku ambil obat ke dokter, sekaligus konsultasi, disitu aku berubah jadi takut ketemu orang banyak, nggak suka melihat keramaian, jadi introvert, jadi berubah total. Terus akhirnya pada saat aku datang dokternya langsung melihat mukaku beda dan dia bilang “Hages are you okey?” dan aku nggak jawab apa-apa, tiba-tiba air mata keluar, dokternya kaget dan dia minta untuk ganti obat, karena efaviren bisa memicu depresi jadi diganti neviral dan langsung dirujuk ke psikiater. Saat itu aku datang didampingi sama teman karena suamiku kerja. Setengah jam di ruang psikiater aku cuma bisa nangis, selebihnya baru bisa cerita. Disitu psikiater bilang aku memang postpartum dan ternyata ada PTSD juga. Aku dikasih obat semacam obat penenang dan aku minum tanpa aku kasih tahu suamiku. Lima hari minum obat aku bisa ketawa jadi kayak diriku lagi. Padahal sebelumnya nggak bisa sama sekali, sampai suamiku minta temanku untuk ajak aku pergi kemana atau nonton.

Terus aku nonton film Mamamia itu kan ceritanya happy ending, aku pulang nangis-nangis nggak jelas banget kan. Aku minum obat itu lagi tiba-tiba cheersfull lagi, suamiku udah curiga kok ada obat lain yang diminum. Disitu kami debat, dia minta untuk jangan minum obat, sedangkan aku butuh itu obat untuk pengobatan, sampai dia bilang “aku nggak dukung karena ini akan jadi masalah baru” menurut dia seperti itu takut aku akan jadi kecanduan, nggak bisa kontrol kalau misalnya nggak minum obat itu dan akan memperburuk keadaan.

Akhirnya aku berhenti minum obat itu dan aku langsung tremor. Pada saat itu sedang ada pertemuan KDS, aku pegang microfon gemeteran dan kembali panik ketemu orang banyak. Aku cuma bisa duduk diam pada saat itu. Dan disaat yang bersamaan ada anak-anak mahasiswa yang mengikuti kegiatanku bawa-bawa kamera itu nggak nyaman banget rasanya pengen teriak tapi nggak mungkin. Rasanya tuh kayak berantem sama diri sendiri, kayak punya dua sisi yang satu butuh diobatin yang satu lagi bilang nggak perlu diobatin kamu baik-baik aja ikutin aja apa kata suami.

Tapi seiring berjalannya waktu memang ternyata tidak bisa dikontrol dan malah makin parah. Ditambah dengan permasalahan rumah tanggaku yang sempat complicated, akhirnya itu memicu depresiku semakin parah dan buruk. Yang mana tadinya aku mendapat support dari suami ternyata suami sibuk sama dirinya sendiri, dan akhirnya aku merasa sendirian, nggak ada teman untuk laluin hari-hari dan aku cuma bisa. Karena itu aku cari pengobatan, konsultasi ke psikolog dan psikiater, disitu aku dapat diagnosis baru dari psikolog dibilang borderline personality disorder (gangguan kepribadian ambang), lalu dari psikiater dibilang bipolar tipe satu karena aku udah mulai nyakitin diri sendiri termasuk anak-anak. sampai aku udah mendengar bisikan-bisikan yang menakutkan percaya nggak percaya, pokoknya serem banget.

Pada saat itu aku lagi nyuapin Elang, aku kan sayang banget sebenarnya sama dia tapi saat itu nggak tahu kenapa makannya lama banget, terus kakak-kakaknya lagi berisik banget berebutan apa gitu, tiba-tiba itu anakku yang bayi aku oyag-oyag sambil aku bilang “makannya yang cepet!!” dan tiba-tiba kedengeran dengan sangat keras di kepala gue bilang “ambil pisau sekarang terus cabik-cabik mulut anak lu terus patahin kepala bayi lu” itu sampai sebegitunya, dan aku langsung “astaghfirullahaladzim” langsung gemeteran, langsung pindah. Dan anakku yang besar dia langsung sadar emaknya ini ada masalah dia bilang “mam, kalau mami ngerasa capek, sini aku aja yang nyuapin Elang kayaknya mami butuh istirahat, gih sana mami istirahat aja”, aku jalan udah kayak nggak ada tulang. Jalan ke ruang living room disitu aku ambil selimut buat nutupin muka sama badanku, langsung goyang dan aku teriak sekencang-kencangnya sampai suamiku yang lagi tidur jadi kebangun panik dan nanya “kamu kenapa?!” aku jawab “aku nggak tau aku kenapa? Kayaknya ada yang beda ini sama aku. aku butuh pengobatan, aku butuh support kamu, aku butuh ini.. aku butuh itu…” kayak gitu, padahal selama kemarin suamiku tuh udah pernah nanya “kamu nggak apa-apa?” aku jawab “nggak apa-apa” tapi diotakku butuh ini, butuh itu banyak banget, bahkan keinginanku yang tidak ingin punya anak itu muncul lagi. Dan tiba-tiba aku jadi benci sama diriku sendiri dan segala macamnya. Akhirnya aku diterapi sama obat dari psikiater dan juga menjalani terapi dari psikolog. Alhamdulillah pelan tapi pasti, sampai sekarang pun masih ngerasain kayak gitu jadi aku harus punya kesibukan dan aku butuh seseorang untuk membantu mengurus rumah tanggaku.

Seiring dengan berjalannya waktu, saat ini ada perubahan yang aku rasakan. Walaupun akhirnya aku memutuskan untuk pelan-pelan lepas dari pengobatan yang medis, obat-obatnya dikurangi, jadi ke psikiaternya udah jarang banget. Tapi kalau ke psikolog aku masih keep in touch. Jadi kalau aku ada merasa sesuatu yang aneh, aku langsung cerita sama dia dan dikasih tau caranya untuk kontrol. Memang sih harus kita sadari kita kan nggak mau ya dibilang sakit jiwa. Itu menyakitkan pastinya, tapi psikolog dan psikiaterku bilang “nggak ada manusia normal, pasti mereka juga punya penyakit kejiwaan itu pasti ada ditiap manusia, tapi tingkat dan kadarnya itu beda-beda. Jadi kamu jangan merasa sedih, dan jangan merasa kalau diri kamu gila”. Jadi ada tiga fase yang aku lalui.

Pertama adalah fase denial, dimana dimasa itu aku nggak mau dibilang gila, aku nggak mau merasa bahwa aku ini ada sakit jiwa di dalam diriku jadi pasti difase itu aku marah, yang keluar adalah angerku dan itu yang selalu berperan, akhirnya setelah anger ini capek, aku masuk ke dalam fase kedua yaitu fase berdiam diri dan belajar apa yang salah pada diriku dan mengevaluasi sepertinya ini harus melakukan sesuatu, dan ternyata setelah ngobrol sama psikolog ketemulah itu titik masalahnya. Ternyata aku memang punya kecenderungan depresi dan lain-lain itu dari kelas 3 SD sebenarnya. Akhirnya setelah difase berdiam barulah masuk ke fase ketiga yaitu acceptance, harus menerima sesuatu hal yang udah ada di dalam tubuhku berdamai sama sesuatu itu karena kalau misalnya aku ajak berantem terus yang ada capek, jadi nggak apa-apa seperti yang selalu kamu bilang kalau emang butuh nangis ya nangis aja, kalau emang butuh marah ya marah aja asal jangan berlebihan, dan akhirnya aku sudah bisa kontrol dan itu adalah fase-fase yang aku lewati semuanya.

Yang sangat penting untuk berdamaai dengan kesehatan mental. Pertama menurutku jangan pernah takut untuk merasa gagal, jangan pernah takut mencoba sesuatu hal yang baru. Kalau misalnya memang kamu butuh itu jangan denial, lepasin aja. Karena memang kesehatan mental itu butuh kesadaran kita untuk benar-benar menyadari bahwa ada sesuatu hal yang beda nih sama diri kita. Entah itu emosional kita yang diatas rata-rata seperti itu, kalau misalnya memang kamu butuh pertolongan udah deh jangan sok-sokan ingin memecahkan masalahmu sendiri. Karena aku sudah melalui itu dan ternyata akhirnya malah makin parah. Aku ini adalah orang yang sudah dari dulu dibentuk sama keluarga harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri, jadi itu memang sudah terbentuk dari kecil seperti itu, sehingga harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Tapi ternyata kita ini makhluk sosial dan kita butuh bantuan orang lain dan kita tidak bisa mengerjakan semuanya sendirian. Kalau misalnya memang kamu merasa batasanmu sampai disini, stop aja dulu. Karena yang mengetahui batasan kita ya diri kita sendiri ini, jadi stop, berpikir dulu sampai akhirnya nanti kamu memutuskan harus apa, itu aja pesan dari aku.

Untuk mengcoping kondisiku, aku punya beberapa cara. Jadi kalau aku memang ngerasa butuh jeda gitu sama anak-anak, karena aku butuh kesibukan ternyata yang dimana aku nggak bisa masuk kedalam rutinitas yang di situ-situ aja muternya, aku harus keluar dari zona itu. Jadi akhirnya aku memutuskan untuk kerja sekarang di luar, membantu program covid di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Jadi senin sampai jumat aku kerja dari pagi sampai sore dan malamnya me time sama anak-anak. Jadi aku dan anak-anakku punya rasa rindu begitupun dengan pasanganku. Jadi yang biasanya kami selalu ketemu, bangun tidur ketemu lagi, ini itu lagi, bengong-bengongan, liat-liatan. Tapi sekarang kami punya rutinitas yang bisa kami lakukan dan itu lumayan membantu karena sama-sama punya kesibukan dan itu justru menguatkan hubungan kami berdua lagi, dan kami saling membantu seperti ketika aku kerja, dia di rumah jagain anak-anak kayak gitu. Jadi aku bilang “oke, kayaknya kita perlu kerjasama yang kuat, kita harus bisa jadi tim yang solid untuk membantu keluarga ini harus bisa mandiri” kayak gitu.

Kata psikologku aku terlalu banyak menampung cerita orang dan itu luber di diriku sendiri. Jadi dia bilang “di mana-mana yang namanya teko itu butuh cangkir, kalau airnya diisi terus jadinya luber dan ya begini jadinya. Kamu itu butuh cangkir-cangkir ketika lelah” karena aku banyak banget yang konsultasi bahkan jam dua pagi pun aku ladenin. Jadi terlalu sibuk memikirkan orang lain dan nggak mikirin diri sendiri. Nah terlalu menampung banyak cerita orang dan akhirnya tidak mengeluarkan ‘sampahnya’ itu bahaya juga ternyata.

Aku masih punya mimpi ingin Umroh sama keluarga. Aku pengen bawa anak-anak ke sana sebelum berakhirnya hidup. Insyaallah kalau Tuhan mengizinkan pergi ke tanah suci, aku pengen banget ke sana. Dan PR besarku saat ini adalah bagaimana caranya aku bisa membesarkan Elang. Sekarang Elang usianya masih dua tahun sedangkan usia aku itu udah mau 40 tahun, dan kayaknya itu masih panjang banget anakku yang satu ini. Dan yang dua ini (kakak-kakaknya) kayaknya udah gampang banget aku lepas. Elang ini pertumbuh kembangnya itu agak terlambat gitu jadi dia beda banget sama kakak-kakaknya. Aku sebenarnya sempat down banget saat tau Elang punya kecenderungan autis. Disitu aku drop banget mau nggak mau harus siap dengan hal itu akan tetapi ketika mendengar sesuatu yang belum siap itu nyakitin banget, dan kepikiran hingga sekarang. Sampai banyak banget yang menguatkan aku kayak suami dan keluarga. Dan dikasih tahu “anak itu perkembangannya beda-beda. Kamu aja dulu baru bisa jalan setelah mau memasuki usia 3 tahun lebih. Jadi kamu perkembangannya juga beda, dan liat sekarang kamu baik-baik saja” jadi jangan terlalu berlebihan gitulah.

Sebagai Penutup, Aku cuma pengen menyampaikan pada diriku sendiri bahwa aku harus mencintai diriku sendiri bahwa hidup ini terlalu berharga untuk kamu akhiri secepat itu bahwa anak-anakmu masih membutuhkanmu, dukunganmu, mereka masih butuh cinta kasihmu, temen-temenmu juga masih butuhmu, temen-temen ODHA di luar sana juga masih butuh semangat darimu jadi aku yakin banget kamu pasti bisa lalui ini semua, kamu pasti kuat, dan kamu adalah wanita yang hebat.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia