Bangkit dan Bersukacita dalam Duka (Bagian 3 – akhir)

 

Penulis: Franco Londah

Rentangan lebar tangan Vivi menyambut dengan sukacita segala tantangan hidup, meski Puput dipanggil terlebih dahulu oleh sang Pencipta, Vivi perlahan kembali bangkit. Status HIV bukanlah penghalang. Makin berdaya dan berkarya di tengah segala keterbatasannya sebagai Perempuan yang hidup dengan HIV (PDH).  Pencapaian terbesarnya dan banyak merubah Vivi terjadi pada tahun 2016, Vivi  berkesempatan pergi ke Kanada untuk mengikuti Kongres AIDS Internasional. Sepulangnya Vivi ke Indonesia, kepercayaan dirinya kian menebal untuk lebih aktif lagi memberikan informasi tentang HIV AIDS.

 

“Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini atas kehendak-Nya, begitu juga dengan perjalanan ARV-ku, dan virus itu berdamai denganku. Sehat sampai Tuhan yang memutuskan umurku. Damai ARV-ku.” – Mirza Revilia / Vivi

 

Tahun 2002 menjadi titik balik dalam hidup Vivi. Meski informasi dan pendampingan belum masif seperti sekarang, semangatnya tak padam. Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda – Badan Food and Drug Administration (FDA) menyetujui kit tes HIV diagnostik cepat pertama untuk digunakan di Amerika Serikat. Kit ini memiliki akurasi 99,6% dan dapat memberikan hasil hanya dalam dua puluh menit. Test kit dapat digunakan pada suhu kamar, tidak memerlukan peralatan khusus, dan dapat digunakan di luar klinik dan kantor dokter. Mobilitas dan kecepatan tes memungkinkan penyebaran penggunaan tes HIV yang lebih luas.

Di masa-masa ini kondisi kesehatan anaknya perlahan membaik,  saat itu Vivi belum disarankan memulai terapi Anti Retroviral (ARV). Lalu keadaan tiba-tiba berubah drastis. Di momen ini justru kondisi kesehatannya memburuk. “Infeksi paru-paru anak gue Puput sudah gak ada, diare gak ada, ruam kulit gak ada. Dia mulai cantik. Tapi  malah gue yang mulai nge-drop.” Tingkat CD4 Vivi ternyata turun, infeksi herpes juga terserang diare parah dan sempat dirawat sekitar 1 bulan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ada indikasi karena Vivi ternyata alergi dengan salah satu  jenis obat ARV. 

 

Bersamaan juga dengan dirinya terkena sindrom Steven Johnsons, menjadi tantangan yang harus ia hadapi. “Di pikiran gue, gimana caranya gue sebagai perempuan tetep bisa terlihat cantik. Kadang kepikiran AIDS itu bikin jelek. Obatnya bikin gue gak seperti dulu. Gue sebagai perempuan gak mau kaya gitu.”  Vivi menolak untuk putus asa. Dalam hatinya, dengan terapi yang benar – walaupun reaksi dan kondisi tubuh setiap orang saat memulai terapi ARV akan berbeda-beda – Vivi bertekad untuk tetap cantik, tetap hidup dan tetap sehat. “Gue bangkit sebagai perempuan di momen ini,” ungkap Vivi. 

Selain terapi ARV, Vivi memutuskan untuk memulai terapi lain yang mampu membuat kulitnya kembali mulus dan bersinar seperti sedia kala.

3 tahun berselang – dari 2003 sampai 2006 periode terburuk di hidup Vivi. Rambutnya rontok, kulit di beberapa bagian tubuhnya mengelupas sehingga ketika keluar rumah, Vivi harus menutupi ‘luka-lukanya’. Vivi merasa seperti memakai topeng agar terhindar dari perundungan yang seringkali ia  dan ODHA lain alami. “Gue harus bisa menerima keadaan diri gue,”  lirih Vivi. Saat itu juga Vivi berinisiatif untuk mulai berjejaring dengan yayasan-yayasan terkait isu HIV AIDS. Vivi sebenarnya pribadi yang supel, meski ia akui dirinya bukanlah tipe ekstrovert dalam bergaul. Ia lebih memilih untuk berada di lingkaran kecil tapi solid. Tidak ingin terlalu tampil kedepan. Sisi introvert Vivi sempat memuncak di tahun 2004 kala ia menarik diri dari pergaulannya di Yayasan HIV AIDS.

Hingga akhirnya ia mulai tersadar bahwa permasalahan perempuan-perempuan lain jauh lebih kompleks. Hal tersebut semakin membuat pola pikir Vivi kian terbuka. Topik yang biasa jadi bahan obrolan oleh teman-temannya justru tentang bagaimana bertahan, berjuang dan tetap bersukacita dengan kondisi dan status mereka saat ini. Perkara kondisi kesehatan yang memburuk lain  soal, intinya bagaimana para perempuan ini termasuk Vivi tetap berdaya dan berkarya selayaknya individu ‘normal’.

Vivi kemudian menginisiasi kelompok dukungan sebaya yang misinya memberikan dukungan moril bagi teman-teman yang hidup dengan HIV-AIDS untuk lebih produktif. Mengingat jalan terjal yang dulu ia jalani, dari mulai biaya pengobatan yang tidak memakan biaya sedikit hingga akhirnya gratis. Vivi ingin agar teman-teman ODHIV saat ini bisa selangkah lebih maju.

Segala macam penyakit memang rentan menyerang ODHIV. Hal itu pulalah yang terkadang menjadi ketakutan Vivi selama 19 tahun hidup dengan HIV-AIDS. 

Pola pikir dan gaya hidup sehatlah yang membuat Vivi bisa bertahan sampai sekarang. Disaat pandemi covid menerjang di dua tahun belakangan, Vivi memperketat protokol kesehatan. Meski kehilangan anak perempuannya, Puput – kekuatan terbesar Vivi terdapat di anak-anak, suami dan ibunya yang selalu mendukung semua yang Vivi lakukan.  

Suami yang selalu mengingatkan untuk meminum obat, senyum ceria dari anak-anaknya, dan ibunya yang selalu ada di sisi Vivi disaat momen-momen terpuruk menghadapi jatuh bangun kehidupan.

Kini Vivi  yang telah bangkit. Ia lebih dalam menceburkan diri dalam berbagai kampanye gerakan pencegahan penularan virus yang menggerogoti sistem kekebalan tubuh itu. Di sana pula, Vivi bisa menemukan kekuatan untuk terus menapaki kehidupan bersama keluarga tercintanya. Meski Tuhan jauh lebih sayang dan memanggil Puput ke pangkuan-Nya, Vivi terus berproses untuk  menjadi satu dari sekian banyak perempuan yang hidup dengan HIV yang mendobrak limitasi status sekaligus berontak dari stigma dan diskriminasi yang mendominasi  ODHIV dengan segala nilai sosial yang membatasi. Pergulatan Vivi dalam membuka kacamata masyarakat di sekitar kita  agar dapat menerima perempuan dengan HIV tanpa diskriminasi, dan paham bahwasanya penularan virus HIV tidak seperti apa yang mereka bayangkan. Bahwa individu yang hidup dengan HIV-AIDS tetap memiliki hak hidup yang sama dengan orang lain.

 

Sumber: Podcast Perempuan Berdaya Seri Inspirational Woman #41. Vivi | ARV itu Layaknya Obat Cantik Bagi Saya.

Perempuan Berdaya adalah Podcast resmi dari Ikatan Positif Indonesia, jaringan nasional perempuan yang hidup dengan atau terdampak HIV. Podcast ini mengisahkan pengalaman, tantangan, dan keberhasilan para perempuan yang hidup dengan HIV untuk tetap berdaya, baik untuk dirinya, dan siapapun yang berada di sekitarnya.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia