Hartini: Walau Terinfeksi HIV Jangan Pernah Menyerah

HIV bisa menjangkiti siapapun. Data menyebutkan orang yang terinfeksi virus ini bukan hanya pekerja seks, tapi kalangan pekerja dan ibu rumah tangga yang tidak punya aktivitas berisiko pun bisa kena. Ibu rumah tangga yang terinfeksi virus tersebut, antara lain Hartini. Di salah satu acara yang diselenggarakan di Jakarta Selatan, Hartini mengungkapkan dia terjangkit HIV dari suaminya. Hartini berhasil keluar dari masa sulit setelah tahu kena HIV. Hartini tidak mau ada orang yang terkena virus lagi. Dia sekarang menjadi konselor VCT dan membagikan pengalamannya kepada masyarakat.

Saat ditemui di Jakarta, Rabu (27/1/2016), Hartini mengungkapkan bahwa jumlah kasus Orang Dengan HIV/AIDS yang ditemukan di Indonesia, khususnya Jakarta, terus meningkat. Kasus HIV/AIDS ibarat gunung es. Hanya sedikit kasus yang ketahuan, padahal sebenarnya sangat banyak. Angka kasus ibu rumah tangga yang terjangkit HIV dan kemudian berkembang menjadi AIDS tergolong banyak. Dan yang mencengangkan, lebih dari 90 persen kasus HIV pada anak terjadi karena tertular dari ibu mereka.

Hartini punya pengalaman. Tidak semua anak yang dilahirkan oleh ibu positif HIV tertular. Hartini telah membuktikannya. Anak yang dia lahirkan tidak terjangkit virus. Semua tergantung pada pemahaman ibu hamil. Hartini melahirkan anak melalui program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. PPIA memiliki empat pilar. Pertama, pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun). Kedua, pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif. Ketiga, pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya. Keempat, dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya. Bagaimana cerita dia sampai terjangkit HIV dan bagaimana bangkit sampai dia memberdayakan diri bagi orang-orang dengan HIV/AIDS, berikut petikan hasil wawancara Suara.com dengan Hartini.

Bagaimana Anda bisa terinfeksi HIV?

Ini sih yang sebenarnya tidak boleh ditiru. Saya lima kali bersuami. Sekarang yang kelima. Tapi suamiku yang kesatu, kedua, ketiga bukan dari kalangan yang berisiko, bukan yang pecandu narkoba. Mereka biasa bekerja di kantor, tapi, bagaimana virus itu dari siapa, aku juga tidak pernah menyalahkan siapapun. Suamiku yang pertama yang jelas masih ada sampai sekarang. Suamiku kedua meninggal bukan karena sakit, tapi karena kecelakaan.

Suamiku yang ketiga, begitu aku berpisah, dia memang punya fakta berisiko, jadi ternyata, ada beberapa temannya yang bilang “kamu bisa ya sama dia?” – saya bilang, loh kenapa? lalu dia bilang “Oh iya lah, di kan nggak cuma sama perempuan,” gitu. Jadi, aku tidak berusaha menyalahkan, karena perpisahannya memang karena kasus kekerasan yang aku hadapi. Jadi, aku terdeteksi terkena HIV disuami ketiga.

Tapi, sekali lagi, semua suamiku adalah pernikahan resmi, bukan dibawah tangan, bercerainya pun resmi. Jadi aku masih tetap bertanya, salahkah seorang istri meladeni suaminya, kalau memang dianggap salah, begitu. Jadi virusnya memang bukan dari hubungan risiko yang dilakukan oleh aku, tapi oleh pasangan.

Kebanyakan orang kurang memahami HIV, menurut Anda kenapa?

Iya itu intinya karena mereka tidak tahu, dan mereka itu biasanya mencari informasi itu dari Google, jadi mereka suka Googling. Begitu Googling HIV yang keluar adalah orang yang kurus kering. Jadi mereka berpikiran bahwa HIV itu orang yang menyusahkan dan benar-benar orang-orang yang udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi.

Jadi itu sih sebenarnya pengertian dari mereka yang masih perlu banyak dibenahi, tapi kalau dilihat dari tahun 2011 sampai sekarang ini ada peningkatan yang cukup luar biasa. Dulu di tahun 2011, begitu aku bilang bahwa aku adalah penderita, ada banyak orang yang memicingkan mata yang berpikiran kalau aku aneh. Kok pakai jilbab, HIV gitu. Apakah kamu dulu pekerja seks, apakah kamu dulu pecandu narkoba, begitu.

Beda dengan sekarang, karena memang beritanya sudah dimana-mana, kalau HIV positif itu banyak di ibu rumah tangga. Karena aku sering melakukan sosialisasi di kelurahan dan di tingkat RW, dan penerimaan mereka cukup baik sih kalau sekarang, nggak seperti dulu lagi. Jadi sebenarnya sih karena mereka tidak paham.

Bagaimana cara mendukung atau memperhatikan Orang Dengan HIV/AIDS dengan baik?

Mereka (suami dan anak) suka mengganti kata-kata. Misalnya, kalau minum ARV (antiretroviral) itu jam sembilan pagi dan jam sembilan malam. Mereka nggak pernah bilang, ‘umi minum obat ya,’ karena mereka pikir orang yang minum obat itu orang sakit. Jadi mereka bilangnya, ‘umi vitaminnya,’ gitu. Karena supaya saya selalu sehat, selalu diberi vitamin.

Sebenarnya, untuk memberikan perhatian kepada mereka tidak harus mencolok. ‘Jei Hartini’ atau yang gimana, nggak begitu. Jadi bentuk yang kecil aja, memperlakukan saya seperti orang-orang lain yang tidak HIV. Diterima seperti orang-orang yang lain tanpa HIV gitu. Kan toh, HIV tidak harus ditularkan melalui interaksi sosial. Tidak bisa lewat berjabat tangan, berciuman, berpelukan, berenang di kolam renang, tidak mengeluarkan gitu. Jadi, itu sih aja sih bentuk dukungan aja.

Bagaimana cara menghilangkan stigma dan deskriminasi terhadap ODHA?

Kalau sekarang sih, saya lebih memulai dari diri sendiri dan dari lingkungan, karena memang suami saya selalu mendukung dengan seperti yang sudah saya katakan tadi. Selagi saya melakukan hal yang positif, saya nggak usah takut akan dilabel sebagai HIV positif. Suamiku bilang, kamu akan dinilai orang karena perbuatan positif kamu. Memang saya sering beberapakali di media, jadi sepertinya tetangga dan keluarga besar suamiku sudah tahu saya HIV positif.

Suamiku ternyata tidak tertular sampai sekarang. Begitu juga anak. Virusnya hanya tetap di saya dan saya tetap konsisten minum ARV. Intinya sih menunjukkan dari diri sendiri saja, dimulai dari diri sendiri.

Apa nasihat Anda bagi perempuan lain yang baru didiagnosa HIV?

Sekarang saya mandiri. Dan dulu saya pernah bekerja ke Puskesmas Sawah Besar. Nah, sekarang ini masih sedikit-sedikit suka membantu teman-teman, walaupun via telepon dan dari luar kota, saya selalu mendampingi teman-teman. Tapi tidak melulu perempuan, hanya kebetulan memang karena sekarang ada PITC ibu hamil, kebanyakan yang saya dampingi adalah ibu-ibu hamil yang HIV positif.

Aku dampingi sampai mereka betul-betul minum ARV. Jadi, secara independen saja sih, karena memang dari dulu aku suka cari informasi sebanyak-banyaknya, nanti aku selalu suka dekat-dekatin teman. Biasanya setiap kita ngambil obat, kita tahu mana yang baru, tahu status gitu. Mereka suka menyendiri, nggak mau berkumpul bareng orang yang lain

Dia tidak tahu bahwa di satu ruang tersebut, ada orang lain yang mungkin sama dengan dia. Jadi, saya suka didekatin, Saya kasih tahu bahwa saya juga sama seperti kalian, gitu. Jadi, rata-rata sebenarnya peningkatan itu dulu atau sekarang mereka melihatnya nggak percaya HIV positif karena gendut dan gemuk. Jadi mereka nggak percaya. Gitu sih, lebih ke mendampingi teman-teman aja walau pun via telepon. [Meg Phillips]

 

Tulisan ini diambil dari website Suara.com

http://www.suara.com/news/2016/01/28/190541/hartini-walau-terinfeksi-hiv-jangan-pernah-menyerah

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia