Selvin, Bangkit dan Pulih dari Kecanduan Narkoba

Selvin mulai menjadi pecandu narkoba jenis putaw sejak tahun 1997. Saat itu dirinya masih duduk di bangku SMA di Surabaya. Saat itu belum ada LSM atau organisasi yang bertugas untuk membagikan jarum suntik steril seperti saat ini, apalagi pemahaman soal bahaya HIV jika pecandu menggunakan jarum suntik secara bergantian. Saat itu Selvin mengaku harus membeli jarum suntik di apotik, tidak perlu menggunakan resep jadi sangat mudah dan terjangkau. Dia bersama sang pacar sama – sama seorang pecandu, dan Selvin menyebut dirinya adalah junkie rumahan; mereka berdua hanya menggunakan narkoba di rumah secara bergantian.

Lama kelamaan orangtua sang pacar mengetahui kalau mereka berdua adalah junkie, sedangkan orangtua Selvin sendiri sata itu belum mengetahui. Kondisi tersebut membuat mereka tidak bisa bertemu, pacarnya masuk program rehabilitasi di pesantren karena kala itu belum ada program rehabilitasi yang terprogram seperti saat ini. Dikarenakan sang pacar sedang direhabilitasi, maka Selvin menggunakan narkoba bersama para Bandar tempat dia membeli benda tersebut. Selvin memberi gambaran bahwa beberapa Bandar hanya berjualan, namun banyak juga yang juga menggunakan narkoba. Karena Selvin mulai menggunakan narkoba bersamaan dengan para Bandar, maka pergaulannya dengan pecandu semakin luas dan itu membuat dirinya memutuskan untuk menjadi junkie jalanan. Dia mengaku, jika ditanya siapa saja junkie di Surabaya pada kala itu dia akan mengenalnya.

Ada suatu waktu, di Surabaya semua narkoba kosong layaknya masyarakat kehabisan sembako, tidak menyerah begitu saja dirinya sampai harus ke Jakarta tepatnya ke ke Kampung Bali untuk mencari narkoba. Perjalanan panjangnya menggunakan narkoba, keluar-masuk Jakarta-Surabaya akhirnya Selvin pertama kali ditangkap polisi tahun 1999, karena tertangkap tangan.

Saat itu Selvin tertangkap tangan membawa bukti putaw. Dan di moment tersebut, menjadi kali pertama orangtuanya mengetahui bahwa dirinya adalah junkie. Di awal orangtuanya masih mau mengurus Selvin, sehingga dirinya tidak sampai masuk ke dalam lapas hanya sampai di polsek saja selama 3 -4 hari. Tapi memang Selvin mengaku dirinya tidak mampu menahan diri sehingga sesaat setelah keluar dia merasa sakau dan langsung mencari narkoba lagi.

Sebelum dirinya menggunakan Putauw, Selvin mengaku menggunakan Ekstasi; dia menggunakannya dengan oknum polisi jadi dirinya merasa aman karena bisa bebas menggunakan ekstasi setiap ke diskotik. Kala itu narkoba jenis sabu belum familiar dikenal para pecandu. Selvin menceritakan bahwa dirinya menggunakan narkoba pada saat masih berprofesi sebagai model. Jadi hidup di dunia yang glamor, memiliki uang berlebih dan merasa semua kebutuhannya serba tercukupi sehingga dirinya merasa mampu melakukan apapun termasuk menggunakan narkoba. Dirinya bukan berasal dari keluarga broken home, dirinya pun mendapat kehidupan yang baik dan pendidikan yang baik. Semua yang dilakukannya atas kesadaran diri karena terbawa oleh pergaulan
Pada tahun 2000 Selvin tertangkap polisi untuk tindakan criminal. Saat itu Selvin sudah kehilangan kariernya sebagai model, hidupnya sudah dibuat tidak karuan karena narkoba. Sehingga dia lebih banyak tinggal di jalanan dan terpaksa melakukan tindakan criminal untuk bertahan hidup. Di tahun selanjutnya, 2001 Selvin memutuskan ingin masuk rehabilitasi dan keluarga membawanya ke Dulos di Trawas, Mojokerto.

Saat itu di tempat rehabilitasi tersebut belum bisa menerima orang yang terinfeksi HIV; sehingga semua calon pasien rehabilitasi akan melakukan pemeriksaan HIV serta Hepatitis. Di sanalah dirinya mengetahui bahwa dia terkena HIV meskipun dia mengaku sangat sehat tanpa gejala. Oleh mentor dan suster di tempat rehabilitasi tersebut, Selvin disarankan untuk mengakses layanan di Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Jakarta.

Saking masih jarangnya keberadaan organisasi yang berfokus pada isu HIV, Selvin memutuskan untuk ke Jakarta. Di sana, dia kembali menjalankan tes HIV namun setelah hasil datang yang tentunya tetap positive dirinya malah memutuskan untuk ke Kampung Bali membeli Putauw dan kembali ke pulang ke Surabaya. Saat itu terapi ARV di tahun tersebut masih belum bisa diakses secara gratis, biayanya masih sangat mahal. “Ada mbak disini tuh obatnya HIV, satu bulan itu 10 juta” kata petugas di Jakarta. Dirinya kemudian berfikir, mungkin dirinya masih mampu membeli obat selama dua bulan tapi kalau untuk terus menerus sudah pasti dirinya tidak memiliki uang dan orangtua tidak akan support. Akhirnya dirinya memutuskan untuk tidak terapi ARV dan kembali ke Surabaya.
Saat itu Selvin belum meyakini bahwa dirinya HIV. Belum ada pemeriksaan CD4, pengobatan masih mahal dan dirinya juga masih terbilang sehat. Kondisi kondisi tersebut tidak membuat dirinya kapok, dan Selvin masih menggunakan narkoba sampai tahun 2007. Sepanjang tahun 2001 hingga 2007 dirinya keluar masuk lembaga pemasyarakatan sampai lima kali; semua penjara di Kota Surabaya sudah pernah dimasukinya sebagai tahanan.
Di tahun 2007 satu persatu sahabat bertumbangan, mereka meninggal dunia; dalam satu tahun bisa mencapai lima puluh orang yang meninggal dunia. Hal itu tentu terjadi karena akses ARV masih tidak terjangkau sehingga kebanyakan ODHA pasti akan jatuh sakit dan meninggal bahkan belum sempat tertolong. Bukan hanya ARV yang belum terjangkau dengan mudah karena harga yang masih mahal, stigma diskriminasi juga amat sangat buruk dan menyeramkan bukan hanya di lingkungan masyarakat, juga di dalam lapas.

Dirinya mengaku pernah mendapatkan stigma diskriminasi, ceritanya ada anak LSM yang datang dan memaksa untuk dilakukan pemeriksaan HIV. Anak LSM tersebut mengetahui bahwa Selvin menggunakan narkoba. Kala itu ada sebuah situasi dimana tes HIV ditarget sebanyak – banyaknya untuk laporan LSM. Sayangnya saat itu hasil tes HIV milik Selvin dibocorkan dan dilaporkan ke KP Rutan dan dirinya mendapatkan isolasi. Beruntungnya Selvin memiliki kenalan salah seorang Bandar besar yang cukup berada secara keuangan, berkat bantuannya dirinya kemudian dipindahkan ke LP di Malang.

Perjalanan menggunakan narkoba dan keluar masuk penjara membuatnya lelah. Tepat tahun 2008, saat narkoba di Surabaya sudah semakin menipis Selvin akhirnya mulai mengurangi pemakaian narkoba karena sudah tidak tahu mau membeli kemana; alternative yang Selvin ambil kala itu adalah terapi substitusi Methadone dengan pemantauan dokter. Di tahun itu juga, Selvin memutuskan untuk bekerja mendampingi para pecandu dan memberinya informasi; dengan gaji hanya dua ratus ribu rupiah. Meskipun gaji kecil, Selvin ingin berubah menjadi lebih baik dan di akhir hayatnya ingin lebih banyak berbuat baik.

Di tahun 2010, Selvin bertemu dengan pria yang kemudian menjadi suaminya. Mereka kebetulan sama sama junkie dan positive HIV. Karena pasangan sudah memulai terapi ARV, pada tahun 2011 akhirnya Selvin memutuskan untuk memulai terapi ARV.

Di awal mengkonsumsi ARV, enam bulan pertama Selvin mengalami HB drop karena efek samping ARV yang digunakannya jenis Duviral. Bahkan saat momen pertemuan nasional AIDS di Yogyakarta dirinya mengaku juga pernah mengalami drop haemoglobin sampai harus tambah darah di rumah sakit sampai delapan kantong. Kondisi itu akhirnya membuatnya berganti ARV dari Duviral ke Tenofovir untuk meminimalisir efek samping yang tidak bisa dihadapinya.

Dalam menghadapi kecanduannya Selvin mengalami tantangan yang luar biasa; keinginan yang besar dan niat saja tidak cukup. Jadi butuh kemantapan hati serta motivasi untuk pulih dari kecanduan. Cinta adalah salah satu hal yang membuatnya tersadar, bahwa dia memiliki cinta terhadap dirinya sendiri, orangtua suami dan anak. Cinta tersebutlah yang kemudian membuatnya tersadar untuk bangkit dan pulih dari kecanduan narkoba. Pemulihan tersebut membuatnya tersadar bahwa hidup itu indah, dia merasa lebih banyak bersyukur. Dia tidak selalu melihat ke atas namun harus juga sering melihat ke bawah dimana banyak orang yang lebih sulit. Di sanalah Selvin dapat belajar.

Selvin mengaku hanya sebulan pacaran dengan sang suami, kemudian langsung menikah. Dengan pasangan2 yang terdahulu, dirinya tidak merasa termotivasi. Setelah bertemu dengan sang suami, dia merasa dapat saling mendukung dan memotivasi serta menguatkan karena sesama ODHA dan pecandu. Bersama sang pasangan, Selvin kini memiliki seorang putra yang sudah berusia tujuh tahun. Sang anak juga sehat tidak terinfeksi HIV meskipun kedua orangnya positive HIV. Ini menjadi sebuah bukti juga bahwa orang dengan HIV bisa tetap memiliki keturunan yang sehat dan tidak terinfeksi HIV.

Meskipun dikenal sebagai sosok yang apa adanya, dia tetap memiliki kekhawatiran pada sang anak. Dia mengaku tidak pernah menyembunyikan dari sang anak kenyataan bahwa dirinya dulu pernah menjadi pecandu dan bukan sepenuhnya orang yang baik. Dia bahkan memberi gambaran kepada sang anak bagai kedua orangtuanya mendapatkan dampak terkena HIV dikarenakan penggunaan narkoba tersebut. Meskipun anaknya masih berusia tujuh tahun, Selvin belajar untuk menjadi orangtua yang terbuka dan selalu mendengarkan pendapatnya. Sang anak juga memiliki hak untuk mendapat kebenaran.

Tahun ini merupakan tahun ke 19 Selvin hidup dengan HIV. Mengakses ARV dan layanan kesehatan di puskesmas dekat rumahnya merupakan pilihan yang mudah, karena jarak yang sangat dekat. Dirinya mengenal IPPI pada saat kongres nasional IPPI di Jogjakarta pada tahun 2011. Karena dia menemukan tantang bertemu dengan junkie perempuan yang asik untuk diajak berkawan, maka kesan pertemuan dengan IPPI menjadi sangat berkesan karena sesama perempuan HIV dan dapat saling memahami satu sama lain.

Untuk layanan HIV di Indonesia, sejak dulu hingga sekarang Selvin mengaku tidak banyak ada perubahan. Stigma pada perempuan pengguna atau mantan pengguna masih sangat buruk. “ini cewek kok HIV ini kenapa sih? pasti orang gak bener ini”. Ada juga stigma untuk perempuan yang mengkonsumsi metadon dianggap perempuan ga bener. Tapi karena Selvin orangnya cuek, jadi dia mengabaikan semua hal tidak menyenangkan tersebut dan memutuskan hanya berfokus pada perbaikan kehidupannya.

Di tahun ini Selvin mengaku sudah pulih, methadone sangat membantu proses pemulihannya akan kecanduan pada narkoba. Dia sudah bisa mengontrol diri dan tidak ada keinginan untuk kembali menggunakan narkoba. Dia kembali menjalankan kehidupannya dengan baik. Selvin mengaku tidak memiliki mimpi yang muluk – muluk. Dia hanya berharap agar ketersediaan ARV di Indonesia bisa terjaga baik supaya dia bisa tetap mengkonsumsi obat tersebut secara teratur dan bisa menjaga hidup bebas.

Untuk teman teman yang masih menggunakan narkoba Selvin berpesan untuk segera melakukan pemulihan dan berhenti menggunakan narkoba. Jika mereka menyayangi dirinya sendiri dan ingin hidup penuh manfaat, janganlah lagi menggunakan narkoba. Karena selama puluhan tahun, Selvin sudah merasakan jatuh bangunnya kecanduan narkoba, keluar masuk penjara hingga terkena HIV.

Untuk para perempuan yang hidup dengan HIV, Selvin berpesan agar tidak berlarut dalam kesedihan. Rasa sedih memang valid dan pasti terus dapat dirasakan, namun jika kita fokus pada kesedihan maka segala persoalan tidak akan selesai karena kita akan sedih terus menerus. Dalam keyakinan yang dianutnya, ada prinsip bahwa hidup, mati, rejeki, dan jodoh itu di tangan Tuhan. Tidak perlu virus HIV, jika Tuhan berkehendak maka kena paku pun orang bisa meninggal dunia. Saat ini ARV sudah tersedia secara gratis dan mudah untuk diakses. Fokuslah pada pemulihan kesehatan, minum obat secara teratur dan tepat waktu; karena saat badan sehat kita dapat produktif dan dapat membantu lebih banyak teman – teman di sekitar.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia