Hujan, Mendung, lalu Gerimis  di Kota Surabaya mengiringi cerita selanjutnya. Cerita perempuan hebat yang kini didapuk sebagai Koordinator Provinsi IPPI Jawa Timur. Jauh sebelumnya, ini kisahnya…

2015, bulan September. Pancaroba menuju musim penghujan, di kala langit seketika berubah kelabu bagi hidup Ria.

Ria yang ketika itu berdomisili di Bali,  pulang ke Surabaya, tepat di bulan Maret 2015. Bermula dari infeksi bakteri TB/TBC bertamu ke paru-parunya.  Gejala TB/TBC pada umumnya, Ria anggap penyakit ini tidak terlalu berbahaya jika mendapatkan perawatan yang tepat.  Tinggal ke bagian Pulmonologi, lalu sekedar berkeluh kesah atas apa yang dirasakan – dokter memeriksa dan memberi vonis, dilanjutkan dengan penyelesaian administrasi ditutup dengan sesi tebus obat lengkap; Isoniazid, Rifampicin, Pyrazinamide, Etambutol, Strptomisin – paru-paru Ria bisa kencang bernafas lega setelah 6-12 bulan istirahat total.

2 bulan sudah Ria kembali ke kampung halaman, dilanjut sesi panjang mengikuti pengobatan TB (Tuberculosis) sekitar 3 – 4 bulan. Bukannya semakin bugar,  kondisi kesehatan Ria tak kunjung sembuh, berat badannya makin menyusut drastis.

“Ria, mungkin ada baiknya anda tes HIV,” saran dokter ditirukan Ria.  Baru setelah tes HIV atau VCT (Voluntary Counseling and Testing), diketahui kemudian Ria posistif HIV.

Ya wes, kayak.. aduh ini kontrak mati ini,” Ria sangat terkejut saat itu. Ria akui dirinya sempat ingin melupakan semua pengalaman dan kejadian yang ada kaitannya dengan HIV-AIDS begitu pula status barunya. Ria ingin mengubur dalam-dalam cerita masa lalunya.

Namun berjalannya waktu, Ria mulai berdamai dengan status barunya. Ria ingin ceritanya dapat menginspirasi banyak orang. “Berhubungan ditanya lagi, biar temen-temen tahu, awal tahu status (HIV Positif).”

Awan kelabu di masa-masa awal Ria hidup dengan status baru. Penolakan muncul ke permukaan. Datangnya tidak jauh, dari keluarganya sendiri. “Dikeluarin dari rumah. Enggak diakuin sebagai anak. Enggak diakuin sebagai anggota keluarga.” Dalam kondisi sakit, Ria dipaksa angkat kaki dari rumahnya hanya dengan beberapa lembar pakaian. Tinggal di kos-kosan seadanya.

Tahun 2015, Ria anggap sebagai tahun-tahun tergelap di sepanjang hidupnya. “Aduh sedih kalo diceritakan, tas cuma diisi baju to,” kenang Ria sambil terisak.

Dengan kesendirian dan dalam kondisi fisik sakit TB, sisi finansial Ria juga mengenaskan – namun instingnya menuntut Ria untuk bertahan.

Bermodal ponsel pintar sebagai teman setianya, Ria mulai berselancar menggali informasi-informasi. Mencari- komunitas – komunitas mana saja di Surabaya yang giat bergerilya seputar isu HIV-AIDS.

Berkat dewa teknologi dan kekuatan digital  akhirnya mempertemukan Ria dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Pendampingan Orang dengan HIV Aids MAHAMERU.

“Mulai main ke kantor Mahameru, akhire ketemu temen-temen sesame ODHA,” katanya. “Oh ternyata, yang lebih parah kisahnya dari aku banyak. Enggak aku to,” lanjutnya. Ria tersadar seketika itu juga. Rasa percaya dirinya kembali menebal. Ria melihat banyak dari kawan-kawannya – yang jauh lebih parah kisahnya, lebih buruk kondisinya – justru masih sehat walafiat.

Tak ada beban yang mereka alami dalam kehidupan sosial. Ekspresi riang  dan saling lempar candaan mewarnai sesi perdana Ria sowan  ke Mahameru. Ia menyadari, hidup berdampingan dengan HIV-AIDS bukanlah akhir dari segalanya. Langit Surabaya biru cerah, cuaca masih menyengat seperti biasanya. “Hidup masih baik-baik-saja,” celetuk Ria dalam hati.

Tetap Berdaya Meski Raga Lara

Jarak waktu seminggu di Mahameru, membulatkan tekad Ria. Cermin di dinding kamar kosnya sebagai saksi bisu. Ria ingin lebih berdaya, seperti rekan-rekan sejawatnya di komunitas Mahameru. Tapi, apa hal pertama yang harus dilakukan?

Didukung segenap kawan-kawan Mahameru, Ria akhirnya memutuskan terapi ARV (Antiretrivoral) dan dari situlah Ria mulai bangkit. “mulai gendut seperti dulu lagi,” guyon Ria dengan Mba Hartini, sosok pengayom sekalilgus pemandu podcast Ikatan Perempuan Positif Indonesia – yang banyak mewawancarai perempuan-perempuan dengan segudang kisah inspiratifnya dari seluruh pelosok negeri.

Akses pengobatan ARV masih diterima Ria hingga saat ini. Meskipun sudah tidak aktif lagi di Mahameru, Ria masih berjejaring dengan dedengkot-dedengkot LSM  Mahameru yang beralamat lengkap di Semolowaru Tim. II No.43, Semolowaru, Kec. Sukolilo, Kota Surabaya, Jawa Timur.

Di tahun yang sama,  medio 2015 – fisik Ria berangsur pulih – bahkan dirinya menjadi percontohan bagi teman-teman ODHA yang lainnya, “Mba Ria ini, awalnya kena TB paru, terus terjangkit HIV + dalam waktu sekian bulan bisa pulih, bisa sehat.” Mengenang saat-saat dirinya dijadikan kader tempat PKM (Pusat Kesehatan Masyarakat) atau Puskesmas tempat Ria tinggal dimana terdapat beberapa ODHA juga  yang tinggal disitu. Jalan 5-6 bulan setelahnya, Ria resmi tergabung menjadi pendamping di Mahameru.

 Tidak hanya kesehatannya saja, kehidupan asmaranya pun ikut membaik. Ria memutuskan menikah siri dengan sesama ODHA di tahun 2019. Tujuannya waktu itu, “untuk saling support,” ujar Ria. Namun belakangan Ria menegaskan keputusannya saat itu keliru. “Sebagai pembelajaran saja, ternyata nikah dengan sesama ODHA bisa saling support. Ternyata enggak bener. Ini menurut pengalamanku loh, ya” tukas Ria.

Walaupun niatannya baik belum tentu bisa berjalan sesuai ekspektasi. Ria kemudian melangsungkan pernikahannya yang kedua dengan seseorang  berstatus non reaktif HIV di tahun 2019. Perikatan kali kedua Ria resmi tercatat secara hukum yang berlaku di Indonesia. Ria membawa dua anak kandungnya, begitu juga dengan suaminya membawa satu orang anak. Keduanya sepakat untuk tidak menambah momongan, dan membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan keterbukaan. “Anakmu, ya anakku, anakku yo anakmu. Yo wes anak’e wong loro-lah (ya, sudah memiliki anak dua),” singkat Ria.

Anak-anak ODHA jauh lebih toleran ketimbang anak-anak pada umumnya. Seperti halnya anak sulung Ria dan anak keduanya. “Gak masalah, mereka tahu kok,” kata  Ria.  Bentuk dukungan sepenuhnya diberikan oleh anak-anaknya, meskipun satu diantara anak-anaknya dari pihak sang suami belum sepenuhnya menerima status Ria, dirinya hanya pasrah membiarkan waktu yang merubah pandangan anaknya tersebut. “Kebetulan belum welcome, tapi gak apa-apa juga sih, berjalannya waktu dia biar tahu sendiri. Enggak bisa dipaksain juga. Yang penting aku menunjukkan kalo aku sebagai mama tiri atau gimana terserah dia nganggapnya apa,  tetap (bersikap) baik. Enggak seperti yang dia pikirkan,” tegas Ria.

Menikah dengan pasangan diskordan (Pasangan diskordan yaitu pasangan di mana salah satunya merupakan orang dengan HIV (ODHIV) dan pasangannya non terinfeksi HIV) merupakan tantangan tersendiri. Dalam hal ini, suami Ria yang non reaktif HIV justru menjadi pengingat alamiah bagi Ria untuk rutin meminum ARV. Terkadang dirinya  sering kali ketiduran setelah seharian kelelahan beraktifitas, suaminya-lah yang setiap hari  tak henti mengingatkan Ria untuk tidak bolong-bolong minum obat.

Bukan tanpa alasan Ria menikahi sosok laki-laki non reaktif yang kini menjadi suaminya itu.

Dalam penggalan wawancara, Ria menjelaskan keinginnannya untuk memberikan pembuktian kepada mantan suaminya yang berstatus ODHA, bahwa Ria bisa mendapatkan belahan jiwa yang bukan ODHA tetapi menyayangi dirinya dan mendukung Ria sepenuhnya. Terlepas dari status Ria sebagai ODHA. “Orang Jawa bilang; witing tresno jalaran soko kulino. Bener-bener dari hati bukan tanpa embel-embel yang lain.”

Berdaya Berlanjut di IPPI

Pertengahan 2019 Ria mulai bersinggungan di Ikatan Perempuan Positif Indonesia. Mulanya, Ria dikenalkan oleh Selvin (Penggiat di IPPI), yang pada saat itu menjabat sebagai Koordinator Provinsi Jawa Timur, posisi yang diestafetkan belakangan dan kini diemban oleh Ria. IPPI serupa magnet bagi Ria, diisi para puan hebat – Ria merasa dirinya berada di lingkaran yang tepat untuk mengembangkan diri. IPPI adalah kawah candradimuka bagi Ria.

“IPPI  itu kan diisi anggotanya perempuan semua, tuh. Bisa (mengangkat) permasalahan perempuan yang complicated. Ilmunya yang saya dapatkan (di IPPI) banyak sekali” terang Ria ditanya soal apa yang membuatnya tertarik untuk terjun aktif di IPPI khususnya yang berkenaan dengan HIV-AIDS.

Pemberdayaan ODHA perempuan menjadi fokus utama Ria di IPPI. Mulai dari hal-hal yang mendasar seperti tema reproduksi, pencegahan, penularan HIV-AIDS Ria dapatkan di IPPI. Ria semakin dibukakan pengetahuannya terkait HIV-AIDS. Lebih mendalam, lebih spesifik. Karna sebelumnya, pengetahuan Ria hanya sebatas hal-hal yang umum saja. Kini di IPPI, rasa haus akan informasi terkait hal tersebut, terpenuhi sedikit demi sedikit.

Ria merasa lebih berdaya semenjak bergabung di IPPI. Mewakili isu ODHA Perempuan di IPPI suatu kebanggan tersendiri bagi Ria, mengingat status-nya sendiri adalah ODHA dan dia juga perempuan. IPPI ibarat kendaraan tempur Ria dalam palagan melawan isu seputar HIV-AIDS yang diselimuti stigma negatif  dan diskriminasi.

Berkecimpung di IPPI banyak merubah sosok Ria. Ria semakin bisa menjaga pola hidupnya jauh lebih sehat. Ketakutan Ria bertemu banyak orang, hilang musnah. “pokoknya semakin bener hidupku sekarang (semenjak di IPPI) daripada dulu),” tegas Ria. Kata ‘Benar’ yang dimaksud oleh Ria adalah soal ‘kontrak mati’ yang sempat ditulis di awal tulisan ini. Vonis ODHA yang dialami Ria, justru mendorong sikap bondo nekat a la arek-arek Suroboyo di benak Ria kian menggelora. Ria memutuskan untuk memperparah kondisinya saat itu. “wong terlanjur ODHA ini, tak bikin parah aja sekalian. Tapi, pemikiranku seperti itu tuh salah sebenernya.”

Selain produktif di IPPI,  saat ini Ria memberikan pendampingan  bagi ODHA di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RS UNAIR) Surabaya. Ria mengintepretasikan makna “berdaya” dengan paripurna. Kepuasan tersendiri bagi Ria untuk berada  dekat di sisi ODHA di masa awal-awal mereka tervonis HIV.  Sedikit membangkitkan memori yang cukup emosional bagi Ria, mengingat kembali masa dimana Ia tervonis HIV dan tidak ada siapapun disana untuk Ria bersandar. “Sekedar membantu melewati masa-masa suram, lebih pendampingan secara psikis” ungkap Ria.  Ria ingin bisa berbuat lebih dan bermanfaat bagi orang banyak.

Harapan Ria, tidak serumit kisahnya. Ria hanya ingin, tetap bisa memberi dukungan untuk teman-teman ODHA. “Harapanku ke diri sendiri, ya tetap support temen-temen. Minimal kasih contoh ke temen-temen. Enggak usah stigma diri sendiri. Mematahkan stigma untuk diri sendiri dulu, itu yang sulit.” Ria sangat berharap, dirinya masih diberikan kekuatan dan kesehatan untuk tetap menemani teman-teman yang masih atau sedang dalam kondisi drop.

Ria adalah sosok yang cukup cepat berdamai dengan virus. Mungkin kalau orang lain merasakan apa yang Ria rasakan, belum tentu orang lain itu mampu.  Mengutip dari Ria sendiri, kekuatan terbesar dari Ria adalah saat ia harus berjudi dengan hidupnya sendiri. Dangkalnya pengetahuan informasi terkait HIV-AIDS, membuat  dua pilihan; pikiran jalan di tempat atau tetap berusaha untuk sehat. Di dalam benaknya ia yakini bahwa besok, lusa, kapan saja – kita  semua akan mati. Semua sudah ada yang menentukan. Usaha Ria tidak sia-sia. Dengan mengambil tindakan cepat terapi ARV, Ria adalah contoh konkrit. Badan kurus kering, infeksi TB, vonis HIV+ ialah paket lengkap yang harus Ria telan bulat-bulat. Di akhir,  Ria menang. Ria ingin usahanya bisa dicontoh ODHA yang lain, yang belum mau mendapatkan terapi ARV, bahwa melakukan terapi obat ARV mampu menekan virus yang berada di dalam tubuh. Ria ingin berbagi kisahnya yang inspiratif. “Nih, contohnya aku. Ayok! Teman-teman yang sudah kena vonis ODHA, gak usah contoh yang jauh-jauh. Kita bisa sehat lagi, kok,” pungkas Ria. “Awalnya gambling, tapi ternyata aku menang,” tambahnya.

Setelah sekelumit proses yang cukup kompleks di kehidupannya sebagai ODHA, keluarga yang awalnya  mengusir Ria, kini kembali membuka hati mereka untuk  menerima Ria. Keluarga mulai mengetahui kondisi kesehatan Ria semakin hari makin membaik, pekerjaan dan finansial yang kembali stabil. Menyibukkan diri dengan menjalin kerja sama lintas bidang bersama DISPORA, instansi pemerintah, Rumah Sakit, Dokter dst – keluarga mneyadari penilaian mereka terhadap Ria sebelumnya jelas salah. “Membuat aib keluarga dengan status HIV. Semua tahu, statusku. Tetangga, keluarga semua (akhirnya) welcome.”

Ria menepis semua anggapan buruk. Melakukan pengobatan dengan baik dan sekarang semuanya baik-baik saja.

“Bagaimana kita mau mematahkan stigma orang lain kita sudah men-stigma diri kita sendiri?! Ayolah kita enggak sendiri, kok” – Ria Herdina Koordinator IPPI Provinsi Jawa Timur

Persoalan penanggulangan HIV-AIDS turut menjadi sorotan perbincangan Mba Hartini  dengan Ria. Bagaimana ia tetap bersikukuh bukan penanggulan yang perlu ditingkatkan, wajib diimbangi dengan merubah stigma buruk  terhadap ODHA yang saat ini masih sangat buruk. Pada satu, dua kasus bahkan lebih – banyak ODHA yang menyimpan dendam untuk meng-ODHA-kan Surabaya, ketika ingin menyingkap statusnya. “Di stigma gini-gini, dari temen-temen aku dengar – ada yang ingin meng-ODHA-kan Surabaya. Pemikiran-pemikiran seperti ini, jadi nyari-nyari temen. Ya salah’e aku di ODHA-kan, biar tahu rasa semuanya” terang Ria yang merasa miris dengan pernyataan temannya itu.

Ria tahu betul ada  beberapa teman-temannya berstatus ODHA merasa jengkel dengan stigma yang masih mengakar di  benak masyarakat luas. Merasa di stigma-kan membuat beberapa teman-temannya  jengah dengan kondisi tersebut. Walau pada kenyataannya menularkan virus HIV tidak segampang membalikkan telapak tangan.

Ria paham, perjuangan masih sangat panjang jika menyoal stigma dan diskriminasi kepada ODHA. Saat ini, Ria hanya bisa berpesan kepada teman-teman yang sudah berstatus HIV+, bersegeralah untuk terapi ARV. “Jangan sampe nunggu sakit, dulu.” Dan bagi teman-teman ODHa yang sudah terapi ARV, tetapi sedang memutus asupan obat, Ria menghimbau,”anggaplah obat terapi ARV ini sebagai obat cantik, obat ganteng kalian. Jangan diputus (konsumsi obat ARV). Takutnya nanti malah jadi resistance, toh,“ jelas Ria.

“Terakhir, banyak dari teman-teman ODHA  tahu status yang dari tahun 2000-an masih tetap sehat, tetap cantik, tetap ganteng. Jadi jangan pernah putus ARV.” Lanjutnya, “terus untuk teman-teman yang statusnya non rekatif, jangan stigma kita. Rangkul kita. Kita sama kok dengan kalian. Kita enggak ada bedanya kok dengan kalian,” tutup Ria menyudahi perbincangan siang itu.

Kisah Ria yang tegar menerjang badai dalam kehidupannya dan kegigihannya untuk tetap sehat semoga bisa menginspirasi pembaca. Persona puan ODHA bernama lengkap Ria Herdina adalah wujud lengkap orang Surabaya asli. Dengan goyangan nada tutur khas Jawa timuran-nya yang kental. Bicaranya jelas. Terkesan blak-blakkan. Tipikal warga Surabaya yang mudah bergaul, bermental kuat, bertemperamen keras, jujur, demokratis, dan toleran.

 

Sumber: Podcast Perempuan Berdaya 40. “Inspirational Women” | Ria: Menjalani Terapi ARV bukan Taruhan. Justru Karena ARV Saya Bisa Kembali Sehat dan Berdaya!

Teks : Franco Londah

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia