Perjuangan 19 tahun Vivi Bersama AIDS

Pondokgede adalah sebuah kecamatan di Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, Indonesia

Kawasan yang dari tahun ke tahun warganya ‘bersahabat’ dengan banjir kala musim penghujan tiba, tercatat sebagai kecamatan terluas di Kabupaten Bekasi sebelum masuk ke dalam wilayah Kota Bekasi. Cakupan wilayahnya yang sekarang terpecah menjadi Kecamatan Jatiasih, Jatisampurna dan Pondok Melati.

Di padatnya  rumah-rumah yang berjajar di kota Industri ini,  salah satunya menjadi tempat tinggal Vivi, seorang perempuan ODHA yang kisahnya bisa menginspirasi banyak orang.

Nama lengkapnya Mirza Revilia, akrab disapa Vivi oleh keluarga, kerabat dan sahabat-sahabatnya.

Lahir di Indonesia pada tahun 1978, nyaris bersamaan dengan nasib seorang pria Portugis yang dikenal sebagai Senhor José (Inggris: Mr. Joseph); pria ini meninggal dunia di tahun tersebut dan nantinya akan dikonfirmasi sebagai pasien yang terinfeksi HIV-2 pertama yang diketahui secara publik. Diyakini bahwa dia terkena HIV ketika tengah berada di Guinea-Bissau pada tahun 1966.

Percepat ke tahun 1980-an dan awal 1990-an, wabah HIV dan AIDS melanda Amerika Serikat dan seluruh dunia, meskipun penyakit itu berasal dari beberapa dekade sebelumnya, tepatnya diantara rentang tahun 1902-1920-an ketika ditemukan kali pertama pada habitat simpanse dan gorilla yang tinggal di hutan negara-negara Afrika Tengah. Saat ini, lebih dari 70 juta orang telah terinfeksi HIV dan sekitar 35 juta telah meninggal karena AIDS sejak awal pandemi, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Tak ada yang menyangka, Vivi mengidap virus mematikan ini. Pasalnya, kondisi fisik Vivi jauh dari potret penderita HIV/AIDS yang ada di benak masyarakat pada umumnya.

Vivi memiliki tiga orang anak dari dua orang suami berbeda, satu dari anaknya sudah meninggal dengan status HIV yang sama dengan Vivi. Almarhum anak Vivi dilahirkan normal, sedangkan dua orang anak lainnya berstatus negative.

Hidup dengan status HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome) bukanlah hal yang mudah. Apalagi bila harus berperan sebagai orang tua tunggal. Itulah kenyataan yang harus dihadapi Mirza Revilia di tahun-tahun awal ia hidup dengan status barunya sebagai HIV+. Mirza Revilia adalah satu dari ratusan ribu penderita HIV/AIDS yang dipaksa untuk berani menghadapi dunia tanpa tabir apa pun.

Saat ini Vivi aktif di Ikatan Perempuan Positif Indonesia dan juga bekerja  sebagai Program Officer di Jaringan Indonesia Positif (JIP) yang baru saja membuat program Rapid Response Officer.

19 tahun sudah Vivi hidup dengan status sebagai ODHA. ”di masa-masa awal tahu dan anaknya juga memiliki status (HIV) yang sama cukup berat, enggak enak,” aku Vivi di podcast Inspirational Woman edisi 21. Vivi tidak pernah membayangkan sang buah hati akan menyandang status yang sama dengan dirinya. “Ya, pengennya anak punya masa depan. Menjadi pegangan, ketika kita tidak ada di dunia, dia (anak) yang bisa menggantikan.” Vivi menambahkan, ia mengetahui status HIV + yang diidapnya bermula dari sang anak. Ia tertular lewat mantan suaminya Ardi Yuniar, seorang mantan pemakai narkotik. Vivi di tahun 2002 melahirkan anak pertamanya dari almarhum suaminya yang dulu seorang pecandu  itu. Jenis obat-obatan terlarang dengan medium jarum suntik yang biasa digunakan suaminya  memang rentan beresiko terkena HIV. 

Selama menjalani bahtera rumah tangga, Vivi tak pernah menyadari telah menikahi penderita HIV/AIDS. Tak disangka, kelahiran anak pertama mereka, Eka Putri Afrianti atau Puput menjadi awal terbukanya tabir tentang penyakit yang diderita Ardi. Kondisi fisik Puput yang terus memburuk menimbulkan berbagai pertanyaan. Hasil pemeriksaan darah Putri dan Vivi akhirnya menjawab semua pertanyaan.

Kenyataan yang menyesakkan itu sempat menenggelamkan Vivi dalam kesedihan. Ia merasa bertanggung jawab terhadap penularan virus mematikan itu ke tubuh Puput. Setelah itu, hidup Vivi dan Puput tergantung pada obat-obatan yang menjaga kestabilan imunitas tubuh. Setiap bulan, tak kurang Rp 1,5 juta dikeluarkan agar mereka dapat bertahan hidup.

Beruntung, dukungan keluarga menjadi satu-satunya biduk haluan bagi Vivi untuk tetap tegar. Sikap positif ditambah pengetahuan yang cukup tentang penyakit HIV/AIDS membantu Vivi dan keluarganya untuk melanjutkan hidup dan menghadapi dunia luar.

 

Di awal perbincangan, Vivi akui saat ini penerimaan dan pandangan masyarakat umum kepada ODHA jauh lebih ‘ramah’. “Banyak kemajuan tiap tahun yang signifikan, terutama bagi perempuan perempuan ODHA,” ungkap Vivi. Sekarang tidak seperti dahulu, namun bukan berarti perjuangan Vivi dengan anak berstatus HIV +  di tahun 2000-an menjadi perkara mudah yang bisa dijalani begitu saja.

Tanpa pendampingan atau konselor, Vivi memperjuangkan hak hidup dirinya dan pengobatan anaknya. 

“Awal kaget sih, anak gua lahir dengan status HIV. Masuk ruang ICU, karna badannya nge-drop. Badannya ruam-ruam dan akhirnya diketahui kena HIV. Secara finansial dibantu orang tua. Saat itu, bener-bener ngeluarin uang sendiri.”

Diare dan ruam di kulit anak Vivi, sebuah indikasi awal yang Vivi sendiri tidak tahu apa penyebabnya. 

Bulan Januari 2002 anak Vivi lahir dan tepat di bulan Juni di tahun yang sama – anaknya memulai pengobatan. Enam bulan paska anaknya lahir, waktu Vivi dihabiskan mengurus anaknya di Rumah Sakit. Di masa-masa ini pulalah Vivi kemudian mengetahui bahwa mertua nya, orang tua dari mendiang suami Vivi ternyata sudah mengetahui status HIV+.

Sebagai single parent Vivi ditempa mentalnya untuk selalu berjuang. Selama 19 tahun  ia hidup bersama virus HIV, dan perjuangannya belum usai. Jalan masih panjang bagi Vivi dan jutaan orang lain diluar sana yang berstatus ODHA dengan problematika yang hampir sama, hidup dengan HIV AIDS dan melawan stigma juga diskriminasi yang terus menyertainya.

Rindu Vivi untuk Puput

Air mata Vivi membasahi pipinya. Dengan suara terisak  di ujung microphone, Vivi mengenang perjuangan dirinya dan almarhum putrinya

“Gapapa, ya gue nangis. Banyak banget kenangan sama almarhum.” Banyak hal dilalui Vivi dan mendiang anaknya.”dari mulai minum obat sama-sama, ke rumah sakit untuk pemeriksaan medis sama-sama.Gue sakit dia yang nemenin. Dia sakit gue yang nemenin,” tutur Vivi. “dari mulai dia brojol sampai momen terakhir sebelum meninggal, gue adalah orang yang disiplin memperhatikan kondisi kesehatannya. Mungkin di benaknya (Alm Puput) muncul rasa jenuh minum obat. Kenapa dua adiknya tidak minum obat. Cape harus selalu minum obat. “Aku bosen bun. Aku cape dengan hidup aku”,” terang Vivi menirukan pesan terakhir anaknya sebelum meninggal.

Setelah proses yang cukup intens ketika Puput harus dirawat di RSCM, psikiater anak sengaja didatangkan untuk mengetahui apa penyebab Puput bolong-bolong (berbohong dan  malas meminum obat). “Gue sempat tersentuh dengan pernyataan Puput, dimana waktu itu dia kan tinggal sama nyokap gue. Jarak rumah kita kan sebenernya dekat. Tapi namanya anak, yang juga butuh kasih sayang ayahnya dan statusnya HIV + butuh pengobatan secara khusus, butuh juga perawatan ekstra.” 

Vivi menambahkan ”Gue akhirnya tahu (dari psikiater) kalau Puput sebenernya kasihan sama gue. Mulai dari tokso dan tumor di kepalanya. Keluar masuk rumah sakit. Dia tahu perjuangan gue kaya gimana. Itu gue rasa alasan terbesar kenapa dia jadi ogah-ogahan minum obat. Bukan gak mau hidup tapi, supaya dia (puput) gak jadi beban gue lagi.” Mendiang Puput sempat mengalami fase denial dengan kondisinya. 

“Puput kasihan sama Bundanya (Vivi),” kata Vivi. “Dia kasihan sama gue. Perjuangan gue cukup berat. Gimana bolak-balik nemennin dia sakit.” Vivi kemudian diberitahu oleh dokter bahwa anaknya bukan tidak mau meminum obat, tetapi lebih kepada tidak ingin menyusahkan Vivi.

Momen terakhir Vivi bersama Puput, tidak akan pernah bisa Vivi lupakan. Vivi berbicara dari hati ke hati dengan anak perempuannya itu dan di ujung pembicaraan, Puput kembali termotivasi untuk minum obat teratur dan sehat lagi. “Gue gak pernah berpikir itu jadi momen terakhirnya Puput. Dia peluk dokternya, dia peluk gue juga. Dia minta disuapin. Gue berpikir Puput semangat lagi. “ Namun, Tuhan berkehendak lain, tepat di tahun 2020, di umurnya yang ke 17 – Puput dipanggil yang Maha Kuasa, sesaat setelah momen hangat kebersamaannya dengan Vivi.

Vivi akui, dirinya belum bisa move on dari semua kenangan bersama Puput. Setiap kali datang rasa rindu itu menyapa,  belum bisa Vivi lupakan sepenuhnya. Jika waktu bisa diputar keinginan Vivi hanya satu, putrinya tidak terkena HIV. Tetapi Tuhan punya jalan lain untuk hidup Vivi. Terkadang ingatannya menerawang ke sebuah lorong rumah sakit  tempat biasa mereka berdua bercengkerama kala membunuh waktu sambil menunggu obat, satu dari sekian banyak kenangan yang sulit Vivi lupakan. Perlahan namun pasti, sekarang Vivi mulai mengubur kenangan-kenangan itu. Terdorong dari pesan mendiang Puput yang ingin Vivi tetap sehat, bahagia dan menjaga dua adik-adik kecilnya.

Pengalaman Vivi dengan Puput juga dialami teman-teman Vivi di selingkaran ODHA. Masa-masa remaja ODHA yang begitu kompleks penuh gejolak. Penolakan dengan statusnya, stigma dan diskriminasi dari lingkungan. Rasa malu akan status. Penolakan dan pembangkangan. Kejenuhan dan masih banyak lainnya  Dari situ Vivi mencoba berbagi pengalamannya untuk dijadikan solusi bagi orang tua dan anak remaja lain berstatus ODHA. Bagaimana penanganan terhadap anak yang sedang menghadapi masalah yang sama seperti yang dialami Vivi dan Puput dulu, agar tidak terjadi lagi ‘kasus-kasus Puput’ berikutnya. Cara Vivi membayar tuntas rindunya kepada Puput, belahan jiwanya.

Bangkit dan Bersukacita dalam Duka

Rentangan lebar tangan Vivi menyambut dengan sukacita segala tantangan hidup, meski Puput dipanggil terlebih dahulu oleh sang Pencipta, Vivi perlahan kembali bangkit. Status HIV bukanlah penghalang. Makin berdaya dan berkarya di tengah segala keterbatasannya sebagai Perempuan yang hidup dengan HIV (PDH).  Pencapaian terbesarnya dan banyak merubah Vivi terjadi pada tahun 2016, Vivi  berkesempatan pergi ke Kanada untuk mengikuti Kongres AIDS Internasional. Sepulangnya Vivi ke Indonesia, kepercayaan dirinya kian menebal untuk lebih aktif lagi memberikan informasi tentang HIV AIDS.

“Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini atas kehendak-Nya, begitu juga dengan perjalanan ARV-ku, dan virus itu berdamai denganku. Sehat sampai Tuhan yang memutuskan umurku. Damai ARV-ku.” – Mirza Revilia / Vivi

Tahun 2002 menjadi titik balik dalam hidup Vivi. Meski informasi dan pendampingan belum masif seperti sekarang, semangatnya tak padam. Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda – Badan Food and Drug Administration (FDA) menyetujui kit tes HIV diagnostik cepat pertama untuk digunakan di Amerika Serikat. Kit ini memiliki akurasi 99,6% dan dapat memberikan hasil hanya dalam dua puluh menit. Test kit dapat digunakan pada suhu kamar, tidak memerlukan peralatan khusus, dan dapat digunakan di luar klinik dan kantor dokter. Mobilitas dan kecepatan tes memungkinkan penyebaran penggunaan tes HIV yang lebih luas.

Di masa-masa ini kondisi kesehatan anaknya perlahan membaik,  saat itu Vivi belum disarankan memulai terapi Anti Retroviral (ARV). Lalu keadaan tiba-tiba berubah drastis. Di momen ini justru kondisi kesehatannya memburuk. “Infeksi paru-paru anak gue Puput sudah gak ada, diare gak ada, ruam kulit gak ada. Dia mulai cantik. Tapi  malah gue yang mulai nge-drop.” Tingkat CD4 Vivi ternyata turun, infeksi herpes juga terserang diare parah dan sempat dirawat sekitar 1 bulan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ada indikasi karena Vivi ternyata alergi dengan salah satu  jenis obat ARV. 

Bersamaan juga dengan dirinya terkena sindrom Steven Johnsons, menjadi tantangan yang harus ia hadapi. “Di pikiran gue, gimana caranya gue sebagai perempuan tetep bisa terlihat cantik. Kadang kepikiran AIDS itu bikin jelek. Obatnya bikin gue gak seperti dulu. Gue sebagai perempuan gak mau kaya gitu.”  Vivi menolak untuk putus asa. Dalam hatinya, dengan terapi yang benar – walaupun reaksi dan kondisi tubuh setiap orang saat memulai terapi ARV akan berbeda-beda – Vivi bertekad untuk tetap cantik, tetap hidup dan tetap sehat. “Gue bangkit sebagai perempuan di momen ini,” ungkap Vivi. 

Selain terapi ARV, Vivi memutuskan untuk memulai terapi lain yang mampu membuat kulitnya kembali mulus dan bersinar seperti sedia kala.

3 tahun berselang – dari 2003 sampai 2006 periode terburuk di hidup Vivi. Rambutnya rontok, kulit di beberapa bagian tubuhnya mengelupas sehingga ketika keluar rumah, Vivi harus menutupi ‘luka-lukanya’. Vivi merasa seperti memakai topeng agar terhindar dari perundungan yang seringkali ia  dan ODHA lain alami. “Gue harus bisa menerima keadaan diri gue,”  lirih Vivi. Saat itu juga Vivi berinisiatif untuk mulai berjejaring dengan yayasan-yayasan terkait isu HIV AIDS. Vivi sebenarnya pribadi yang supel, meski ia akui dirinya bukanlah tipe ekstrovert dalam bergaul. Ia lebih memilih untuk berada di lingkaran kecil tapi solid. Tidak ingin terlalu tampil kedepan. Sisi introvert Vivi sempat memuncak di tahun 2004 kala ia menarik diri dari pergaulannya di Yayasan HIV AIDS.

Hingga akhirnya ia mulai tersadar bahwa permasalahan perempuan-perempuan lain jauh lebih kompleks. Hal tersebut semakin membuat pola pikir Vivi kian terbuka. Topik yang biasa jadi bahan obrolan oleh teman-temannya justru tentang bagaimana bertahan, berjuang dan tetap bersukacita dengan kondisi dan status mereka saat ini. Perkara kondisi kesehatan yang memburuk lain  soal, intinya bagaimana para perempuan ini termasuk Vivi tetap berdaya dan berkarya selayaknya individu ‘normal’.

Vivi kemudian menginisiasi kelompok dukungan sebaya yang misinya memberikan dukungan moril bagi teman-teman yang hidup dengan HIV-AIDS untuk lebih produktif. Mengingat jalan terjal yang dulu ia jalani, dari mulai biaya pengobatan yang tidak memakan biaya sedikit hingga akhirnya gratis. Vivi ingin agar teman-teman ODHIV saat ini bisa selangkah lebih maju.

Segala macam penyakit memang rentan menyerang ODHIV. Hal itu pulalah yang terkadang menjadi ketakutan Vivi selama 19 tahun hidup dengan HIV-AIDS. 

Pola pikir dan gaya hidup sehatlah yang membuat Vivi bisa bertahan sampai sekarang. Disaat pandemi covid menerjang di dua tahun belakangan, Vivi memperketat protokol kesehatan. Meski kehilangan anak perempuannya, Puput – kekuatan terbesar Vivi terdapat di anak-anak, suami dan ibunya yang selalu mendukung semua yang Vivi lakukan.  

Suami yang selalu mengingatkan untuk meminum obat, senyum ceria dari anak-anaknya, dan ibunya yang selalu ada di sisi Vivi disaat momen-momen terpuruk menghadapi jatuh bangun kehidupan.

Kini Vivi  yang telah bangkit. Ia lebih dalam menceburkan diri dalam berbagai kampanye gerakan pencegahan penularan virus yang menggerogoti sistem kekebalan tubuh itu. Di sana pula, Vivi bisa menemukan kekuatan untuk terus menapaki kehidupan bersama keluarga tercintanya. Meski Tuhan jauh lebih sayang dan memanggil Puput ke pangkuan-Nya, Vivi terus berproses untuk  menjadi satu dari sekian banyak perempuan yang hidup dengan HIV yang mendobrak limitasi status sekaligus berontak dari stigma dan diskriminasi yang mendominasi  ODHIV dengan segala nilai sosial yang membatasi. Pergulatan Vivi dalam membuka kacamata masyarakat di sekitar kita  agar dapat menerima perempuan dengan HIV tanpa diskriminasi, dan paham bahwasanya penularan virus HIV tidak seperti apa yang mereka bayangkan. Bahwa individu yang hidup dengan HIV-AIDS tetap memiliki hak hidup yang sama dengan orang lain.

 

Sumber: Podcast Perempuan Berdaya 41. “Inspirational Woman” | Vivi: ARV itu Layaknya Obat Cantik Untuk Saya.

Teks : Franco Londah

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia