Menemukan Kebahagiaan dan Harapan di Tengah Tantangan terinfeksi HIV: Kisah Inspiratif Lilis Ekawati

Lilis mengetahui bahwa dirinya positif HIV pada tahun 2010. Saat itu Lilis sudah menikah selama tiga tahun dan anak pertamanya sudah berusia satu tahun. 

Salah satu tantangan berat yang harus Lilis hadapi ketika itu adalah kelelahan secara fisik dan mental. Untuk mengambil vitamin di RSCM, Lilis harus bolak-balik dari Tegal ke Jakarta. Selain menguras energi dan pikiran, rutinitas itu juga memberatkan Lilis secara ekonomi karena dia harus mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit setiap kali ke Jakarta untuk keperluan itu. 

Kesulitan yang dihadapi Lilis kian bertambah karena selain persoalan kesehatan, Lilis juga harus menghadapi masalah dalam rumah tangganya yang diambang perpisahan. Namun di tengah semua kesulitan itu, Lilis juga menemukan kebahagiaan dan masa depannya. 

Suatu kali ketika Lilis ke Jakarta untuk mengambil vitamin, dia menginap di kontrakan adiknya. Di sana dia bertemu dengan seorang pria, kawan adik iparnya. Rupanya pertemuan tak disengaja itu menjadi awal dari kehidupan baru yang akan dijalani oleh Lilis. Setelah saling dikenalkan oleh sang adik ipar, akhirnya mereka pun bertukar cerita. Adik Lilis menceritakan kondisi kakaknya yang sedang dalam proses mengurus perceraian. Keduanya juga sempat bertukar nomor telepon. 

“Kemudian di tahun 2016, adik saya pulang ke Jawa dan ternyata laki-laki itu ikut juga. Kami ketemu setelah lebaran, lalu dia kembali lagi ke Jakarta. Dua minggu kemudian dia datang lagi bersama orang tuanya untuk bertemu saya,” ucap Lilis mengenang pertemuannya dengan sang suami yang kemudian dia nikahi di tahun itu juga. 

Lilis sempat menghadapi tantangan terutama di masa-masa awal pernikahannya. Saat itu pihak keluarga suami memang sudah tahu bahwa Lilis adalah perempuan dengan HIV. Lilis sempat khawatir bahwa hubungan mereka tidak akan diterima. Apalagi saat itu dia berstatus janda, sedangkan suaminya masih bujang. Ada banyak stigma negatif yang harus dia hadapi.

Untunglah Lilis bertemu dengan suami yang berani pasang badan untuk mendukungnya. “Kata suami selagi sehat dan kita bisa mampu menjangkau layanan sendiri, kita jalani aja dulu,” kenang Lilis. Suaminya saat itu berprinsip bahwa selagi mereka tidak menyusahkan orang lain, maka tidak perlu juga terpengaruh oleh omongan orang lain. 

Suami Lilis juga sudah mendapatkan edukasi tentang HIV, bahkan suka diajak untuk berkumpul dengan teman-teman seperjuangan Lilis. Ketika mereka akhirnya memutuskan untuk menjalani program kehamilan pun dorongannya datang dari sang suami. “Kata suami, kita coba aja, mudah-mudahan dikasih. Kita ikhtiar semoga kita bisa punya anak lagi yang sehat seperti kakaknya,” kata Lilis mengulang apa yang dikatakan oleh sang suami beberapa tahun yang lalu. 

Untuk meyakinkan hatinya, Lilis pun berkonsultasi dengan konselor. “Saya tanya-tanya kepada konselor. Apakah saya bisa hamil? Bagaimana nasib anak saya nanti? Apakah anak saya akan bisa sehat kayak anak-anak lainnya?” katanya. Petugas layanan kesehatan menjelaskan kepada Lilis bahwa selama dia mengikuti prosedur dari rumah sakit dan disiplin menjaga kesehatan, tentu Lilis bisa memiliki anak yang sehat. 

Setelah mendapatkan penjelasan dari layanan kesehatan, Lilis memutuskan untuk mengikuti program PPIA. Lilis bercerita tentang kehamilan keduanya, “Alhamdulillah kehamilan yang kedua gak ada kendala apa-apa, dari pertama hamil sampai sembilan bulan semua lancar. Malah tiga hari sebelum jadwal operasi saya masih kerja sampai ditegur oleh dokter. Saya pikir karena gak ada kendala jadi enak aja jalaninnya.”

Saat itu sesuai dengan anjuran dari layanan kesehatan, Lilis melahirkan dengan prosedur sesar dan tidak memberikan ASI kepada bayinya. Anaknya lahir sehat dan selamat dengan berat 2,9 kilogram. Setelah dua kali tes EID pada usia enam minggu dan satu setengah tahun, anaknya juga dinyatakan negatif. 

Sayangnya, Lilis masih sempat mendapatkan perlakuan diskriminatif. Setelah melahirkan, tempat tidur Lilis dipasangi alas plastik. Kemudian petugas juga tidak bersedia untuk memandikan bayinya. Lilis diminta untuk memandikan sendiri anak keduanya yang baru lahir itu di kamar rawat dan bahkan diminta membeli peralatan mandi sendiri. 

Karena kejadian itu, Lilis menghubungi kepala dinas setempat untuk menyampaikan keluhannya. “Mungkin setelah itu dari Kepala Dinas ada komunikasi dengan pihak rumah sakit. Setelah saya pulang ada perubahan, yang lahiran dengan kondisi khusus pun sudah bisa makan dan mandi bersama, tidak ada perbedaan,” ucapnya. 

Saat ini, Lilis mengaku bahagia dengan kehadiran anak dan suaminya. Selain itu, Lilis bersyukur bisa memberikan motivasi bagi teman-temannya baik yang masih lajang maupun yang ingin punya anak dan sedang menjalani program. “Saya selalu dukung dengan menjadi contoh, role model, bahwa ibu positif bisa melahirkan anak yang sehat. Dengan catatan teratur ARV, kalau ada program cek viral load ikut tes,” ungkapnya.  

Selain menjadi role model, Lilis juga telah lama membantu teman-teman seperjuangan dengan menjadi pendamping sebaya. Dia terinspirasi oleh bantuan yang dulu sempat dia terima di masa-masa awal perjuangannya sebagai perempuan positif. 

“Motivasi saya, dulu saya sempat drop karena capek pikiran dan tenaga bolak-balik Jakarta untuk mengakses vitamin di RSCM karena belum tahu di Tegal itu ada pengobatan seperti ini. Setelah drop ada LSM Jingga yang mendampingi saya. Kok dia yang bukan keluarga saya, bukan siapa-siapa saya mau membantu saya. Apa dia gak takut? Saya pikir kalau diberi panjang umur, saya ingin mengabdikan sisa hidup saya untuk membantu teman-teman untuk berjuang biar sama-sama sehat seperti yang saya alami dulu, bangkit dari keterpurukan,” cerita Lilis. 

“Di kabupaten tegal banyak perempuan positif. Yang saya dampingi hampir lima puluhan lebih. Ada yang pekerja, ada yang ibu rumah tangga. Kalau perempuan yang masih usia produktifnya sekitar 50-an. Di antara mereka ada yang jalan terapi ada juga yang berhenti. Salah satu alasannya adalah karena percaya obat herbal,” kata Lilis. Dia kemudian memberi contoh salah satu dampingannya yang sempat drop. Setelah kembali sehat dengan terapi ARV, orang tersebut justru berhenti dan kembali pada obat-obatan herbal yang harganya lebih mahal. 

Reaksi yang didapatkan Lilis selama menjadi pendamping sebaya ternyata beragam. Tidak semua orang menerima bantuannya dengan tangan terbuka. “Setelah dengar cerita saya, ada yang memutuskan kembali terapi ARV, ada yang keukeuh dengan pendirian dia, dan bahkan malah mengusir saya,” ungkap Lilis. 

Tidak hanya itu, Lilis bahkan juga pernah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti disiram air teh, diusir, dijorokkan, bahkan dilempari. “Itu kejadiannya di tahun 2014. Ada yang sampai ngelempar saya pakai bangku. Sekarang orangnya sudah meninggal. Ada juga yang nyiram saya pakai teh satu poci,” kenang Lilis. 

Namun, itu semua tidak membuat Lilis berkecil hati apalagi kehilangan harapan dan semangat. “Kalau dikasih kesempatan, selama mampu, akan terus jalan mendampingi teman-teman, akan terus membantu tanpa harus ada imbalan apa pun,” tekad Lilis.

Lilis sangat berharap pelayanan untuk semua orang dengan HIV bisa terus lebih baik. Salah satunya dari segi akses. Menurutnya sangat penting untuk memastikan bahwa ada layanan kesehatan yang dapat dijangkau dengan mudah oleh kawan-kawan ODHIV dari tempat mereka tinggal. Hal tersebut dapat mengurangi hambatan yang membuat kawan ODHIV enggan atau kesulitan untuk mengakses layanan seperti ongkos dan jarak tempuh yang jauh. Lilis juga berharap bahwa selain dirinya, ada kawan-kawan lain yang pernah menjalani program PPIA yang dapat menjadi motivasi atau role model bagi teman-teman lainnya. 

Kepada kawan-kawan di Kabupaten Tegal, Lilis berpesan agar tetap semangat. “Jangan pernah merasa sendiri, kalian masih punya saudara, punya keluarga di KDS. Berjuanglah untuk keluarga, apalagi yang punya anak. Harus melihat masa depan anak. Pertahankan pengobatan, bantu teman-teman yang kondisinya masih denial atau belum menerima statusnya. Kita support motivasi dan dukungan biar lebih semangat lagi,” pungkasnya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia