Cerita Ade, Mempersiapkan Bekal Kehidupan Anak-Anak

SEMUA bermula saat Ade terinfeksi HIV di akhir tahun 2007 tepatnya bulan Desember. Saat itu badannya melemah setelah melahirkan anak ketiga. Badan mulai tidak terasa sehat, dirinya mengaku sering pingsan dan rambut mulai rontok. Tentu saat itu Ade tidak berfikir dirinya terinfeksi HIV, dia hanya sedikit bingung apa yang terjadi dengan tubuhnya. Ade bahkan berusaha menghibur dirinya, mungkin dia hanya sakit pasca melahirkan, kelelahan.

Dalam kurun waktu tiga bulan, Ade bolak balik masuk ke rumah sakit. Tapi tidak satupun rumah sakit yang menganjurkan dirinya untuk periksa HIV. Saat itu memang di Lampung, isu HIV belum familiar dan akses ke layanan kesehatan yang paham HIV juga masih sangat minim. Ada satu moment pada saat adiknya bercerita bahwa salah seorang kawannya ada juga yang sakitnya seperti dirinya; dan dulu suami kawannya juga menggunakan narkoba sama seperti suami Ade. Dari cerita itu kemudian Ade berinisiatif untuk mengajak sang suami untuk memeriksakan HIV. Tapi sayangnya, sang suami menolak karena dia mengaku menggunakan jarum suntik tidak berganti-gantian.

Seiring berjalannya waktu, kondisi Ade membaik dan pulih sedikit demi sedikit. Namun sayang saat keadaan Ade membaik, sang suami malah jatuh sakit. Suami Ade saat itu mendapat penempatan dinas cukup jauh sehingga baru pulang ke rumah satu minggu satu kali. Suami Ade adalah seorang polisi. Suatu hari sepulang dinas, sang suami masuk rumah sakit dan dinyatakan terkena Typus. Tapi pengobatan Typus tidak membuatnya membaik. Sang suami malah mengalami sakit kepala hebat, dan tetap tidak ada yang merekomendasikan mereka untuk periksa HIV.

Tidak hanya sang suami, sang putra yang waktu itu masih berusia 9 bulan juga mulai jatuh sakit. Diare namun tidak kunjung membaik meskipun sudah mendapat penaganan dan pengobatan. Ade sampai membawanya ke dokter spesialis anak terbaik, tetap tidak ada jawaban yang jelas. Karena sang suami adalah seorang polisi, banyak rekan yang menyarankan mereka untuk berangkat ke Jakarta dan menjalankan perawatan di sana. Di sanalah, mereka akhirnya mengetahui bahwa sang suami terkena HIV dan tentunya sesuai dengan protocol, Ade juga mendapat pemeriksaan yang sama, dirinya pun dinyatakan positive.

Saat itu pemeriksaan HIV belum secanggih hari ini, periksa langsung dapat hasil. Ade harus menunggu kurang lebih 1 minggu. Rasanya tentu tidak karuan, menunggu hhasil pemeriksaan tersebut. Selepas dirinya mendapatkan hasil, dokter di RS Polri Sukamto juga langsung memberikannya ARV. Tanpa menjelaskan panjang lebar, Ade hanya menerima tanpa memahami obat apa itu dan bagaimana caranya bekerja. Yang Ade rasakan saat itu hanya dunianya yang runtuh. Dia merasa melayang seperti tidak ada pijakan, dia merasakan perang batin yang luar biasa.

Selama kurang lebih 4 bulan, Ade dan suami berada di Jakarta. Sampai kondisi dirasa membaik, dokter mengijinkan mereka berdua kembali ke Lampung. Saat itu hanya Ade yang memutuskan untuk mengkonsumsi ARV dengan segala efek sampingnya, suami menolak untuk minum obat dengan alasan yang tidak jelas. Hal itu membuat sang suami jatuh sakit dan mengharuskan mereka kembali ke Jakarta dan mendapat perawatan di RS Dharmais. Saat itu pula Ade putus ARV karena ketidakpahamannya akan pengobatan. Saat itu kondisi sang suami pun memburuk di RS Dharmais, dengan infeksi penyerta yang sudah begitu banyak suami Ade menghembuskan nafas terakhirnya di sana.

Saat itu yang Ade ingat hanya Anak. Bagaimana dirinya harus bertahan dan tetap hidup demi anak – anak. Buku Seri Kecil dari Yayasan Spirita sangat membantunya memahami HIV. Wajah – wajah dalam cover buku informasi tersebut memotivasinya, berharap suatu hari Ade bisa bertemu dengan sosok – sosok tersebut seperti Suzana Murni dan Nurul Arifin. Ade mengaku, dulu setiap dirinya bercerita tentang kisah hidupnya dia pasti menangis. Sekarang kondisi sudah berubah dan dia berusaha untuk menerimanya dan menjalaninya dengan lapang.

Ade mengenang kisahnya saat mengetahui kondisi Rafi, saat mengetahui sang putra terinfeksi HIV. Ade bercerita saat itu ada pemeriksaan HIV gratis, ada enam orang anak yang diperiksa termasuk anaknya. Dan hanya ada satu anak yang positif, itu ternyata adalah Rafi. Ade berfikir bahwa dunia sangat tidak adil untuknya. Saat itu dirinya sempat putus asa, bahkan sempat dirinya tidak mau bertemu dengan orang. Di rumah berdiam diri dia merasa di ambang hidup dan mati, frustasi rasanya. Dalam kondisi seperti itu, kehadiran temen-temen pendamping sangat berarti. Karena mereka selalu  memberi masukan dan motivasi kepada Ade sampai akhirnya dia memutuskan untuk memulai terapi ARV pada sang anak. Kini Rafi berusia 15tahun dan sudah 12 tahun lamanya sang anak hebat tersebut mengkonsumsi ARV.

Ada sebuah moment dimana saat Ade mulai memutuskan untuk bergabung di komunitas, di sanalaah dia merasa harus bangkit dan maju ke depan. Meskipun keluarga mertua sempat menentang Ade aktif dalam lingkaran HIV karena harus menjaga nama baik keluarga, tapi dirinya tidak gentar. Hingga di tahun 2010, Ade memutuskan untuk menjadi manajer kasus di Dinas Kesehatana di RSU Abdul Muluk. Di sanalah Ade merasa dibutuhkan oleh banyak orang, untuk membantu memberi motivasi dan pendampingan persis seperti apa yang diterimanya di waktu lalu. Ada kepuasaan batin tersendiri saat Ade mampu menolong orang lain.

Meskipun begitu, Ade tetaplah manusia. Dia juga memiliki ketakutan dan kekhawatiran dimana dirinya akan jatuh sakit sampai meninggal, sedangkan anak – anak belum mampu berdiri di atas kakinya masing – masing dan masih bergantung kepada dirinya. Sehingga sampai saat ini yang bisa Ade lakukan adalah mempersiapkan Rafi untuk memahami persoalan HIV dan kenapa dia harus minum obat. Ade khawatir, simpang siutnya informasi HIV di luar sana hanya akan membuat Rafi bingung dan semakin tersesat. Ade bersyukur, saat ini Rafi tidak memiliki kesulitan untuk meminum ARV. Rafi juga mendapatkan dukungan dari kakak – kakaknya.

Untuk anak – anak Ade yang lain, dirinya mengaku mereka tidak pernah banyak bertanya mengenai HIV. Hanya Rafi yang punya konsen khusus karena memang dirinya harus minum obat seumur hidup. Sedangkan saudara lainnya seperti lumayan mengerti terkait situasi kedua orangtuanya yang memiliki HIV, Ade sudah memberitahukannya sejak awal.

Kekhawatiran lainnya tentang masa depan Rafi, diakui Ade adalah apabila nantiu Rafi akan masuk ke dunia kerja. Apakah sang anak bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya dengan kondisi HIV positif seperti ini. Bahkan Rafi mengaku pada Ade, bahwa dirinya ingin menjadi polisi seperti sang almarhum ayah.

Ade bercerita bahwa mimpi besarnya pada anak – anak adalah, dia ingin kesemua anaknya jadi sarjana. Saat ini anaknya satu orang telah menjadi polisi, yang satu masih menyusun skripsi dan Rafi sendiri masih duduk di bangku sekolah. Besar harapan Ade agar anak – anak sudah memiliki pegangan baik secara ilmu maupun karakter agar saat waktunya Ade menghembuskan nafas, dia bisa ikhlas dan lega. Dia ingin anak – anaknya memiliki bekal agar bermanfaat untuk orang banyak, serta mampu membahagiakan dirinya sendiri dan orang banyak.

Di akhir cerita Ade menekankan penting bagi perempuan untuk memiliki integritas dan harga diri, khususnya kekuatan untuk berdiri di atas kakinya sendiri dan untuk memperjuangkan hidup, khususnya untuk perempuan dengan HIV. Karena yang memiliki kekuatan itu bukan hanya laki-laki, dirinya memisalkan hidupnya. Meskipun dirinya tidak mengetahui bahwa dia akan tertular HIV, kalau saat mengetahui hal tersebut Ade lemah maka dia akan menjadi tidak berdayaa dan hancur – hancuran. Tapi situasinya sebalinya, Ade memilih untuk bangkit dan mengumpulkan kekuatan yang dia punya karena tanpa harga diri dia sadar betul dia akan diremehkan oleh banyak orang. Hal tersebut juga yang ditanamkannya kepada anak – anaknya.

Dia memberi gambaran bahwa dirinya belajar banyak dari setangkai bunga. Saat dia berfikir tanaman bunga tersebut sudah mati, digeletakan begitu saja di tanah… nyatanya bunga itu malah hidup dan bertunas. Mungkin ada fasenya Ade merasa hidupnya tanpa arto dan tidak memiliki manfaat. Meskipun sudah dilemapar, dibuang dan dicacri maki itu malah membuat Ade bertumbuh dan membuatnya makin kuat, jadi wangi dan bermanfaat bagi sesama. Ade kemudian berpesan tentang jangan mendiskriminasi diri sendiri. Karena itu hanya akan membuat diri kita terlihat tidak baik dan sama dengan menanam energy negative pada diri sendiri.

Jikalau kita menempatkan diri kita itu berharga, maka kita jadi berharga. Itu yang penting bagi Ade untuk harus ditanam ke diri kita. bagimana orang mau menghargai diri kita kalau diri sendiri tidak melakukannya. Karena sebenernya diskriminasi itu datang dari diri sendiri; maka kita yang harus memulai perubahannya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia