Nawatura (Nawa Tuntutan Rakyat) Women’s March Jakarta 2023

Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap politik di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan, memunculkan peluang dan tantangan baru bagi keterlibatan perempuan. Meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender dan tuntutan representasi politik yang lebih besar telah menjadi isu sentral bagi perempuan di kota. Sebagai bagian dari warga negara, perempuan Indonesia memiliki beragam identitas dan latar belakang.

Women’s March Jakarta mendukung dan menuntut pemenuhan hak bagi semua perempuan, kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya, seperti kelompok ragam orientasi seksual, identitas gender, penyandang disabilitas (fisik, intelektual dan psikososial), pekerja dan buruh, pekerja migran, orang yang hidup dengan HIV/AIDS, pengguna narkotika, pekerja seks, perempuan adat dan pedesaan; perempuan yang terdampak krisis iklim;¹ pekerja rumah tangga, penghayat kepercayaan, orang miskin dan rentan, narapidana, orang dengan persoalan kesehatan jiwa atau kesehatan mental, dan semua identitas lainnya. Kita layak mendapatkan perlindungan dan pemajuan hak dari negara.

Kemudian, di tahun ini Women’s March Jakarta menekankan aspek politik, aksi di tanggal 20 mei 2023 ini bertujuan untuk menantang struktur kekuasaan patriarki dan menciptakan ruang bagi suara perempuan untuk didengar dan dihormati dalam ajang kontestasi politik di Indonesia. Tema Women’s March 2023 adalah SUDAHI BUNGKAM, LAWAN! adalah semboyan yang mendorong semua perempuan, kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya untuk turun ke jalan, merapatkan barisan dan menggaungkan perubahan.

Isu Women’s March Jakarta 2023 cukup berbeda di tahun ini, melihat banyaknya perubahan arah politik dan sistem hukum. Banyak kemenangan-kemenangan pada tuntutan di 2019 dan 2020 sudah tercapai di 2023 ini. Akan tetapi hal itu tidak membuat Women’s March Jakarta berhenti untuk menyuarakan perubahan. Permasalahan baru bermunculan, aturan turunan suatu kebijakan perlu dikawal, dan kasus-kasus kekerasan berbasis gender baru muncul. Untuk itu, pada Women’s March 2023, kami menuntut negara untuk:

  1. Meningkatkan keterwakilan politik perempuan dengan membuka dan memudahkan akses perempuan dan kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya untuk berpartisipasi dalam politik. Secara spesifik, menuntut partai politik untuk melakukan pendidikan politik dan kewarganegaraan yang berperspektif gender; melakukan pendidikan politik secara sistematis bagi kader perempuan; memastikan terintegrasinya perspektif gender dalam kepengurusan dan kebijakan partai; serta memastikan keterwakilan kelompok marginal dan minoritas lainnya dalam segala aspek. Secara khusus juga menuntut negara melalui KPU untuk menghapus ketentuan PKPU 10/2023 yang mengurangi jumlah keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024.

  2. Segera mengesahkan seluruh kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan, diskriminasi, stigma, represi atau dampak buruk program pembangunan terhadap perempuan, yakni dengan:
    1. mengesahkan aturan pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Perlindungan Masyarakat Adat, dan Raperda Bantuan Hukum DKI Jakarta;
    2. meratifikasi Konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga; dan Konvensi No.190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
    3. mendukung pembentukan legislasi anti-diskriminasi yang komprehensif.

      Dengan pengesahan dan penerapan perangkat hukum di atas, pemerintah harus bisa mengajak masyarakat untuk ikut menghentikan stigma terhadap perempuan ragam identitas, kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya.

  3. Mencabut dan/atau membatalkan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya baik di tingkat lokal maupun nasional, yakni dengan:
    1. Mencabut segala ketentuan dalam UU Cipta Kerja dan UU Minerba serta pasal-pasal bermasalah di KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi perempuan dan kelompok marginal, rentan dan minoritas.
    2. Revisi UU ITE yang memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta mengancam demokrasi warga negara.
    3. Batalkan ratusan perda-perda diskriminatif yang tersebar di Indonesia yang menyasar perempuan dan kelompok marginal, rentan dan minoritas.
    4. Hentikan segala upaya pembentukan rancangan peraturan daerah diskriminatif berbasiskan moralitas dan identitas politik demi kepentingan penguasa daerah.
    5. Mendorong RUU Kesehatan untuk menggunakan prinsip HAM dan perspektif gender serta menghapus ketentuan misoginis yang bertentangan dengan instrumen HAM internasional dan tidak berpihak pada kesehatan reproduksi perempuan dan kelompok minoritas, rentan dan marginal. Ketentuan misoginis tersebut seperti: rehabilitasi, kontrasepsi dan sterilisasi paksa kepada kelompok disabilitas; kriminalisasi perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) termasuk kehamilan karena kekerasan seksual; dan ketiadaan perlindungan dan penjaminan kesejahteraan bagi kader kesehatan.

  4. Menghentikan praktik-praktik berbahaya (harmful practices) terhadap perempuan, anak perempuan, dan kelompok minoritas gender dan seksual seperti, namun tidak terbatas pada:
    1. sunat perempuan;
    2. praktik konversi termasuk juga pernikahan paksa;
    3. dispensasi pernikahan;
    4. tes keperawanan dan rekonstruksi selaput dara dengan melibatkan pemberlakuan dan penegakan hukum yang secara eksplisit mengkriminalkan praktik-praktik ini, memastikan hukuman yang berat bagi pelanggar, dan menyediakan layanan dukungan bagi para penyintas.

      Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk menghapus praktik-praktik berbahaya (harmful practices) bagi perempuan dan anak perempuan.

      Maka dari itu, secara bersamaan, kampanye kesadaran publik harus diluncurkan untuk menentang norma-norma budaya yang berbahaya, mendidik masyarakat tentang kerugian fisik dan psikologis yang disebabkan oleh praktik-praktik ini, dan mempromosikan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Kampanye harus melibatkan pemangku kepentingan utama, termasuk tokoh agama dan masyarakat, untuk mendorong dialog, menantang kesalahpahaman, dan mengadvokasi untuk meninggalkan praktik-praktik berbahaya ini.

  5. Mendorong kurikulum pendidikan yang komprehensif, adil gender dan inklusif, termasuk melalui jaminan bagi anak perempuan untuk mendapatkan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, karakteristik seks, ras, suku, agama, kepercayaan, status kesehatan (fisik dan psikis), status sosial, dan lainnya; serta memajukan pendidikan, pemberdayaan dan akses yang inklusif bagi anak-anak perempuan dengan disabilitas, anak dengan HIV/AIDS, anak narapidana, dan anak pengguna napza. Secara khusus untuk mendukung kurikulum pendidikan komprehensif, Women’s March Jakarta 2023 mendesak Pemerintah Indonesia untuk:
    1. Mengesahkan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) sebagai bahasa isyarat bervariasi dalam dialek dan bekerja sama menuju penghentian bertahap Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI).
    2. Memastikan implementasi kebijakan akomodasi yang layak bagi peserta didik dengan disabilitas di institusi pendidikan.
    3. Pengarusutamaan perspektif gender dan inklusivitas dalam kurikulum pendidikan nasional di semua tingkatan pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan kesehatan mental dan pendidikan hak kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif.
    4. Memastikan pembentukan dan pelaksanaan Satgas Pencegahan dan Penghapusan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi sesuai dengan Permendikbud No 30 tahun 2021.
    5. Mencegah dan menghentikan segala bentuk pemaksaan, tindakan misoginis dan kekerasan fisik, psikis dan seksual di semua tingkat pendidikan.

  6. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melindungi perempuan, kelompok minoritas, rentan dan marginal yakni dengan:
    1. perlindungan bagi perempuan pembela HAM dari praktik kriminalisasi dan kekerasan;
    2. perlindungan komprehensif dari kekerasan seksual di dunia kerja;
    3. mengeluarkan larangan pada tiap diskriminasi berbasis gender dan orientasi seksual di lingkungan kerja;
    4. menjamin pengakuan dan perlindungan hak orang dengan disabilitas di dunia kerja dengan memperkuat implementasi dari PP Nomor 60 Tahun 2020 Tentang Unit Layanan Disabilitas;
    5. mendorong tiap-tiap korporasi menghapus sistem kemitraan dengan pekerja dan menjamin persamaan hak bagi semua pekerja, terutama perempuan;
    6. memberikan jaminan kesehatan yang memadai terutama bagi buruh perempuan yang bekerja pada industri yang memiliki risiko kesehatan tinggi;
    7. mendorong program adaptasi dan mitigasi krisis iklim untuk mencegah dampak krisis iklim bagi perempuan dan anak-anak.

  7. Memastikan berjalannya perlindungan sosial yang komprehensif, adil gender dan inklusif, dan dilengkapi dengan alokasi anggaran yang memadai. Perlindungan sosial yang dibutuhkan termasuk ketersediaan sistem daycare lengkap untuk anak; pemenuhan hak kesehatan orang yang hidup dengan HIV AIDS dan pengguna napza; dan pemenuhan hak atas cuti melahirkan, dan tunjangan hari tua. Ini termasuk memastikan adanya jaminan dan akses pada pelayanan kesehatan yang adil gender dan inklusif, termasuk fasilitas dan anggaran bagi terselenggaranya jaminan pelayanan kesehatan seperti visum gratis, pengobatan ARV, konseling kespro, dan pelayanan kesehatan jiwa bagi semua perempuan dan kelompok marginal, rentan minoritas lainnya, termasuk anak yang sesuai dengan prinsip HAM yang universal.

  8. Menuntut Pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan dan berpusat pada pemenuhan hak-hak korban. Pengakuan dan permintaan maaf atas terjadinya pelanggaran HAM di masa lalu harus diikuti dengan penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM secara adil, transparan, dan akuntabel, memberikan pemulihan bagi korban dan keluarga, serta menjamin ketidakberulangan pelanggaran HAM di masa depan.

  9. Mendorong pemerintah sebagai chairperson ASEAN 2023 untuk turut aktif dalam penyelesaian konflik di wilayah ASEAN/Asia Tenggara, terutama krisis kemanusiaan, HAM, dan kekerasan di Myanmar secara berkeadilan dan berdasarkan pada prinsip HAM, dan sebagai anggota dari Human Rights Council Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan komitmennya dengan memberikan perlindungan pada para pencari suaka/pengungsi.
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2021 © Ikatan Perempuan Positif Indonesia